Saudi dan Mesir Pun Atur Toa

Oleh : A Adib Hambali (”

GADUH. Itulah suasana terjadi akhir akhir ini. Pemantiknya Surat Edaran No. SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, alias Gus Menteri.

Beragam respons publik pun bermunculan. Dalam masyarakat demokratis, respons publik terhadap kebijakan Pemerintah itu menandakan berkembangnya iklim demokrasi yang sehat. Respons masyarakat terhadap kebijakan juga membuktikan bahwa kebijakan itu tidak hanya menggaung di ruang kosong, tapi mengena sasaran yang dituju.

Sekalipun demikian, respons yang disertai dengan ketidaktahuan dan/atau niat jahat atas sebuah perkaran bisa berakibat pada penyalahgunaan kebebasan berpendapat.

Alih-alih menjadi bagian dari keterbukaan publik, kebebasan bersuara, dan tumbuhnya demokrasi yang sehat, respons yang disuarakan tanpa pengetahuan yang memadai atau niat jahat akan melahirkan kegaduhan, saling curiga, saling membenci, hate speech, bahkan fitnah yang mengarah pada pembunuhan karakter seseorang.

Jika kita secara jujur membaca isi SE Menteri Agama No 05/2022, SE tersebut sama sekali tidak melarang umat Islam untuk menggunakan pengeras suara (toa) dalam melakukan syiar agamanya.

SE dikeluarkan dalam kerangka pengaturan ekspresi keberagamaan di ruang publik atau yang dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) disebut dengan istilah forum externum.

Mengatur ekspresi keberagamaan di ruang publik sama sekali berbeda dengan pelarangan terhadap syiar agama.
Ekspresi ber-lslam di ruang publik juga perlu mempertimbangkan kemashlahatan umum.

Kemashlahatan umum adalah tujuan tertinggi dari syariat Islam (maqashid al-syari’ah). Mengingkari tujuan syariat ini dengan dalih syiar Islam tentu saja tidak bisa diterima karena syiar Islam itu sendiri justru harus mewujudkan Islam yang membawa kepada kebaikan bersama (almashlahah al ‘ ammah).

Apa yang dilakukan Gus Menteri bukan satu satunya. Dikutip dari Media Arab Saudi, Saudi Gazzette, 24 Maret 2021l, memberitakan, Pemerintah Arab Saudi lebih dahulu membatasi penggunaan loudspeker. Alat pengeras suara ke luar mesjid itu dibatasi bahkan hanya untuk adzan dan iqomah saja (seruan pertanda sholat segera dimulai).

Volume loudspeaker itu juga dibatasi hanya sepertiga dari volume yang biasa. Saudi Arabia adalah awal dan pusat dari agama Islam dunia. Soal keabsahan sebuah kebijakan atas agama Islam terasa lebih otoritatif jika datang dari negara ini.

Media Egyp Today, tanggal 22 April 2018, juga memberitakan. Bahkan lebih awal dibandingkan Arab Saudi, pemerintahan Mesir juga membatasi penggunaan loud speaker hanya untuk adzan dan iqomat saja.

Di Mesir terdapat mesjid Al- Azhar yang sudah berdiri sejak tahun 971. Di sana juga berdiri Universitas Al-Azhar yang dibangun tahun 975. Dua bangunan itu sudah menceritakan betapa agama Islam di Mesir sudah sangat berakar. Agama Islam di Mesir sudah lebih awal dibandingkan dengan di Indonesia.

Kebijakan soal agama Islam yang datang dari Mesir, yang didukung oleh ulama utama mesjid Al-Azhar juga terasa lebih otoritatif. Bahkan soal membatasi penggunaan loadspeaker, pemerintah Mesir sudah mendahului Indonesia dan Arab Saudi.

Yang perlu dirujuk soal mesjid pertama- tama tentu hukum agama. Baik Arab Gazzette dan Egyp Today memberitakan justru hukum Islam yang dijadikan dasar pembatasan loudspeaker ke luar mesjid itu.

Dalik-dalil Syariah, yang terpenting adalah sabda Nabi Muhammad sendiri. Nabi mengajarkan bahwa semua jamaah yang berdoa dan memohon kepada Allah SWT, tidak boleh menyakiti atau menyebabkan ketidaknyamanan satu sama lain dengan bacaan keras selama shalat.

Hal ini merupakan implementasi dari prinsip fiqih, “Jangan menyakiti orang lain, juga tidak boleh orang lain menyakitimu.”

Suara imam selama shalat harus didengar oleh semua orang di dalam masjid. Menurut syariat, suara imam tidak perlu terdengar di rumah tetangga di luar.

“Itu juga dapat dianggap merendahkan Al-Qur’an ketika ayatnya dibacakan dengan keras menggunakan pengeras suara eksternal, tapi tidak ada yang mendengarkan dan merenungkan ayat-ayatnya,”tulis Denny JA 4 Alasan Menteri Agama Mengatur Toa, (27/2/2022).

Dalil ini sesuai dengan fatwa ulama besar Syekh Muhammad Bin Saleh Al-Othaimeen. Ia menyatakan pengeras suara eksternal tidak boleh digunakan kecuali untuk Adzan dan Iqamat-ul-salah. .

Surat edaran tersebut juga berdasarkan fatwa anggota Majelis Ulama senior dan anggota panitia tetap Dr. Saleh Al-Fowzan, serta beberapa ulama lainnya.

Kemudian alasan prinsip moralitas umum. Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak ingin dilakukan orang lain padamu.

Penganut agama Islam pun akan keberatan jika mendengar pengeras suara dari syiar agama lain di rumahnya. Apalagi jika pengeras suara itu diperdengarkan setiap hari. Dalam satu hari, keras suara itu diperdengarkan berkali- kali pula.

Bahkan keberatan toa mesjid itu datang dari penganut agama Islam sendiri. Ini juga menjadi pertimbangan pemerintah Arab Saudi dan Mesir. Orang tua, atau mereka yang sedang sakit, para bayi yang perlu istirahat, juga akan terganggu dengan toa mesjid ke luar rumah itu.

Membatasi toa mesjid ke luar hanya pada adzan dan Iqomah, plus lantunan ayat Quran 5-10 menit sebelumnya adalah kompromi yang sudah sangat baik.

Menteri agama memang banyak dikritik soal analog yang ia gunakan. Sang menteri dianggap menyamakan suara toa mesjid itu dengan gonggongan anjing.

Tapi kita semua tahu. Analogi itu hanya asesoris saja. Esensinya bukan itu. Esensinya adalah soal mengatur pengeras suara toa mesjid untuk harmoni hidup bermasyarakat.

Denny meminta harus mengarahkan fokus perhatian kita kepada esensinya. Bukan fokus pada asesorinya. Sama seperti ketika seorang guru menunjuk bulan. “Fokus perhatian harus kita arahkan pada bulan yang ditunjuk. Jangan fokus pada jari yang menunjuk.(*).

*) Redaktur Senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *