Koalisi  Desak Pemerintah Buka Perjanjian Indonesia-Europe FTA

JakartaDetakpos-Koalisi Masyarakat Sipil untuk keadilan Ekonomi mendesak Pemerintah dan DPR untuk membuka isi teks perjanjian Indonesia-Europe FTA (IEFTA) yang telah selesai dirundingkan pada 31 Oktober 2008.

Hal ini karena selama ini perundingan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan penuh kerahasiaan.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, kembali mengingatkan bahwa perjanjian IEFTA bukan sekedar membahas akses pasar, tarif ekspor-impor saja, tetapi ada banyak aturan yang mengatur kehidupan manusia.

Keterlibatan rakyat dalam perundingan menjadi sangat penting. Ini bukan hanya soal ekspor dan impor, tetapi ada hak sosial dan hak asasi manusia yang dipertaruhkan di dalamnya.

“Kami meminta  Pemerintah Indonesia membuka teks perjanjian, ini adalah hak kami. Sehingga kami bisa ikut memberikan penilaian terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian ini. Bahkan, kami mengingatkan kepada DPR, dalam proses memberikan keputusan terhadap IEFTA, agar dilakukan secara hati-hati dan melibatkan serta penting mendengarkan suara dari kelompok masyarakat sipil”, desak Rachmi.

Herman Abdulrohman, Koordinator Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), mengingatkan bahwa isi perjanjian ini berpotensi bertentangan dengan Konsitusi,  bahkan mengancam kedaulatan negara. “Indonesia akan diwajibkan mengubah undang-undang untuk melindungi kepentingan investor dibandingkan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak”, terangnya.

Koalisi ini juga menilai bahwa Perjanjian Indonesia-Europe FTA (EFTA) adalah perjanjian transaksi paling buruk. Hal ini karena, diplomasi sawit yang menjadi prioritas perundingan telah mengabaikan hak-hak dasar publik yang seharusnya dilindungi oleh Negara.

Koalisi ini mengidikasikan, perjanjian IEFTA telah melakukan transaksi kepentingan antara isu kesehatan dengan sawit.

“Jika transaksi kepentingan sawit dengan kesehatan ternyata betul dilakukan, Pemerintah Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang selama ini dilindungi HAM”, kata Rachmi kembali menegaskan.

Manajer Kampanye dari WALHI, Yuyun Harmono, menyatakan negosiasi perjanjian IEFTA yang ikut dipimpin oleh salah satu dewan direksi dari Astra Agro Lestari adalah fakta konkrit di mana diplomasi sawit menjadi harga mati buat Indonesia. Pasar sawit di negara anggota EFTA juga tidak akan signifikan penyerapannya karena mereka menolak menggunakan Biofuel.

“Ada konflik kepentingan di situ. Perlu diketahui Astra Agro Lestari adalah perusahaan sawit yang tidak ikut di dalam RSPO, dan dalam menjalankan bisnisnya terus melakukan kejahatan HAM terhadap petani. Perdagangan yang memusatkan pada komoditas sawit hanya akan melanggengkan eksploitasi di Indonesia”, terang Yuyun.

Kartini Samon, Peneliti dari GRAIN, menyatakan bahwa apa yang didapatkan Indonesia untuk pasar sawit nya juga tidak signifikan. Hal ini karena, dari 98% komoditas negara anggota EFTA yang mendapat tariff 0% di Indonesia, Sawit Indonesia hanya mendapatkan diskon akses pasar sebesar 20-40% dari penerapan tarif.

“Pemerintah jangan senang dulu dengan hasil yang dicapai. Diskon yang tidak seberapa tersebut harus dibayarkan dengan pengorbanan kesehatan rakyat Indonesia. Bahkan, monopoli atas benih pertanian oleh korporasi asal Swiss, Sygenta, melalui aturan HaKI dalam perjanjain tersebut juga akan berdampak kerugian bagi petani dan kedaulatan pangan Indonesia”, tegas  Kartini.

Lutfiyah Hanim, Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), menjelaskan bahwa selama ini perusahaan farmasi besar asal Swiss seperti Novartis, punya kepentingan besar untuk terus melakukan monopoli atas kesehatan, khususnya obat, dengan menerapkan standar perlindungan yang lebih dari WTO atau dikenal dengan TRIPS Plus. Ada 3 isu sensitive dalam TRIPS Plus yaitu data ekslusifitas pada produk farmasi, patent linkage, dan perpanjangan masa paten. “jika aturan TRIPS Plus disepakati dalam perjanjian IEFTA maka akan dapat dipastikan akan terus terjadi monopoli terhadap obat-obatan yang pada akhirnya menghilangkan akses obat murah bagi pasien yang membutuhkan”, tegas Hanim.   Selain itu, Koalisi ini mengingatkan bahwa kesepakatan yang ditimbulkan dari IEFTA dapat berpotensi kembali membuka dominasi dan monopoli perusahaan multinasional diberbagai sektor penting seperti pangan dan kesehatan di Indonesia. Bahkan, tidak dibukanya informasi dan teks perundingan kepada publik serta hilangnya akses publik untuk dapat terlibat didalam perundingan telah mengancam demokrasi di Indonesia. Sigit Karyadi dari KRuHA menyatakan bahwa banyak perusahaan-perusahaan dari negara anggota EFTA yang hanya akan mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Misalnya saja bagaimana praktek perusahaan Nestle yang telah melakukan banyak eksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia. “perusahaan ini yang akan mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini. Rakyat Indonesia yang hanya akan mengalami eksploitasi besar-besaran untuk memenuhi rantai produksi mereka” tegas Sigit.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *