Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia- Norwegia Rugikan Nelayan

JakartaDetakpos-Dalam berbagai pemberitaan media diketahui Pemerintah Indonesia dan Norwegia telah bersepakat dan menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada 16 Desember 2018 di Jakarta lalu.

Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata, menilai, jika perjanjian ini mulai diberlakukan, lebih dari 80% ekspor Norwegia ke Indonesia akan bebas bea masuk.

Perjanjian tersebut didorong melalui forum European Free Trade Association (EFTA)  di mana Norwegia menjadi salah satu negara anggotanya.

Negosiasi perjanjian ini telah berlangsung hampir 8 tahun di antara kedua Negara tersebut secara tertutup tanpa partisipasi dari masyarakat sipil terlebih organisasi nelayan Indonesia.

Sebagai informasi, menurut Marthin,  pada 2017 Indonesia mengekspor produk senilai 1,3 miliar dolar AS ke negara-negara EFTA, sementara Indonesia mengimpor 1,1 miliar dolat AS dari blok tersebut.

Perjanjian EFTA-Indonesia ini secara intensif dibahas bersamaan dengan keputusan parlemen Norwegia yang melarang penggunaan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dalam upaya untuk melindungi iklim dan hutan hujan.

Secara tidak langsung, lanjut dia, keputusan ini berdampak pada intensitas ekspor minyak sawit yang berasal dari Indonesia dengan respons Pemerintah Indonesia dengan ancaman menghentikan masuknya ekspor ikan dari Norwegia.

Saat ini, menurut dia, sekitar 60 persen dari total impor salmon ke Indonesia berasal dari Norwegia. Ekspor makanan perikanan laut Norwegia ke Indonesia pada tahun 2017 mencapai  250 juta dolar AS(€ 219 juta).

Perjanjian EFTA-Indonesia secara khusus menjadi sarana untuk menjaga kelangsungan perdangan bebas di sektor perikanan.

“Perjanjian perdagangan bebas ini hanya menguntungkan Norwegia untuk mengamankan kepentingan posisi ekonomi dalam perdagangan internasional dan akan menguntungkan perusahaan-perusahaan perikanan laut. Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dam membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia.”

“Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia,tutur dia di Jakarta,  Kamia, (20/12).

Perjanjian EFTA-Indonesia hanya akan menyebabkan membanjirnya ikan impor dari luar Norwegia. Sementara 2,7 juta jiwa nelayan yang menggantukan kehidupan akan semakin terpuruk ditengah ketidakpastian usaha perikanan. Terlebih Indonesia telah memiliki UU No. 7/2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.

Secara tegas dalam Pasal 12, mewajibkan pemerintah wajib melakukan pengendalian terhadap impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman. Lebih lanjut dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan menyatakan dengan tegas impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Menurut Marthin, jika impor dilakukan dengan alasan peningkatan nutrisi masyarakat, Indonesia memiliki banyak jenis ikan lain yang memiliki kualitas kandungan gizi yang sangat beragam dan bahkan lebih baik daripada komoditas ikan salmon maupun ikan cod dari Norwegia.

“Perjanjian ini tidak didukung dengan komitmen menghapuskan subsidi perikanan bagi tindak IUU Fishing (Illegal Unreported and Unregulated Fishing). Diketahui, dalam praktiknya beberapa kali ikan asal Indonesia ditolak masuk ke Uni Eropa padahal sudah memenuhi ketentuan sertifikasi dan bukan berasal dari hasil praktek IUU Fishing.”

Rahmat Maulana, Indonesia for Global Justice mengatakan, Negara lain seperti Thailand yang diketahui mengambil ikan di perairan Indonesia dan  melakukan IUU Fishing justru diterima oleh Uni Eropa.

“Lemahnya komitmen Uni Eropa mencegah tindak IUU Fishing tersebut menciptakan perdagangan yang tidak adil bagi Indonesia. Karena nya, perjanjian ini hanya akan menguntungkan sector perikanan Uni Eropa yang secara leluasa masuk ke Indonesia namun tidak bagi Indonesia,”ujar Rahmat.

Selain itu, Uni Eropa masih menetapkan Non Tariff Measures (NTM) yang tinggi untuk Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dengan angka 6.805 NTM. Hal ini sebagai bentuk proteksionism Uni Eropa atas produk-produk yang masuk ke Uni Eropa. Tidak heran banyak produk-produk ekspor Indonesia sulit masuk ke Uni Eropa termasuk produk ikan dari Indonesia. Pengenaan NTM (Non-Tariff Measures) yang tinggi ini membenarkan bahwa slogan perdagangan bebas yang selalu diungkapkan oleh Uni Eropa hanya membebaskan produk-produk ekspor Uni Eropa ke Indonesia, namun sebenarnya tidak bebas bagi Indonesia.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *