Produk Impor Bersetifikasi Halal Bakal Banjiri Pasar Indonesia (Bagian 1)

Opini Oleh H Ikhsan Abdullah, SH, MH *

BANYAK produsen yang mengabaikan kewajiban Sertifikasi Halal selah disahkan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014 ). Sejauh ini pelaku usaha, produsen makanan, minuman dan industri farmasi, kosmetika, obat-obatan dan barang gunaan belum serius melakukan sertifikasi halal sesuai kewajiban atau perintah (mandatori) undang-undang.

Padahal, saat ini sudah usia  tiga tahun  UU Jaminan Produk Halal itu  diberlakukan. Hal ini disebabkan kesadaran melaksanakan ketentuan undang-undang  belum tertanam, pandangan pelaku usaha – produsen beranggapan bahwa sertifikasi halal hanya membebani produsen  serta tidak memberikan nilai tambah secara ekonomis, dan sosialisasi serta minimnya edukasi dari pemerintah kepada pelaku usaha dan industri, apalagi kepada industri asing dan importir.

Sebagai contoh, restoran branded dan digemari oleh masyarakat seperti sate Senayan dan Pt Sukanda importir produk asing dari Korea sudah beberapa kali kita surati dan diundang untuk mengikuti penyuluhan produk halal sekalipun diberikan dengan gratis dan di hotel, mereka tetap kurang peduli.

Berbeda halnya dengan  Bread Talk dan Jco JCO, serta beberapa resto Jepang yang saat ini sudah mulai peduli perlunya menjamin dan kenyamanan konsumen dengan menjamin produk halal. Mereka tergerak untuk melakukan sertifikasi halal.

Dan jangan lupa penduduk Indonesia 90% adalah beragama Islam, sehingga pasar terbesar adalah Muslim dan ini pasar yang sangat potensial. Sertifikasi halal dapat memberikan nilai tambah atau value added bagi produk, sekaligus dapat memperluas keyakinan pasar yang semula pada segmen tertentu saja.

Dengan melakukan sertifikasi halal dapat dipastikan konsumen muslim dapat disasar.Ini adalah bisnis oportunity yang harus menjadi agenda penting bagi dunia usaha dan IndustriAdalah pandangan yang keliru bila produsen, khususnya pemilik restaurant  dan importir yang saat ini masih berfikir bahwa sertifikasi halal hanya membebani biaya produksi dan adanya kekhawatiran ditinggalkan konsumen tertentu sehingga akan ditinggal konsumen seperti pada Restoran Chinese Food yang sebagian tetap mempergunakan bumbu yang diragukan kehalalanya dengan alasan takut ditinggalkan pelanggan,  sekalipun sudah memperoleh sertifikat halal dari LPPOM-MUI.

Bahkan label halal hanya ditempelkan ditempat yang tidak semestinya dan tersembunyi. Restoran dan industri makanan obat-obatan harus segera berfikir menggunakan bahan pengganti minyak babi, arak, alkohol, mirin dan enzim dari unsur babi. Karena Indonesia memasuki mandathori (wajib) Sertifikasi Halal bagi semua produk beredar sesuai UU JPH.

Dan jika tidak menyesuaikan, maka pasar kita akan dibanjiri oleh barang impor yang telah siap dengan sertifikasi halal dan tentu saja akan ditinggal konsumen, karena halal sudah menjadi life Styl atau gaya hidup modern.(*)

Penulis : Direktur Eksekutif Halal Watch dan kandidat Doktoral Universitas Jember.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *