Rokok Perlu Mahal, Menteri Keuangan Jangan Gagap

 JakartaDetakpos-Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) memaparkan hasil survei yang tentang dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok. Dari hasil survei ini diketahui, masyarakat Indonesia mendukung harga rokok dinaikkan agar anak-anak tidak lagi membeli rokok.

”Sangat menggembirakan para perokok juga setuju agar harga rokok naik pada harga tertentu untuk membantu mereka berhenti merokok,”tutur jelas Prof Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI. Hasil survei yang dilakukan PKJS-UI selama bulan Mei 2018 pada 1.000 responden.

Survei bertujuan mengukur seberapa besar dukungan masyarakat terhadap kenaikan harga rokok dan mengetahui sikap perokok terhadap dampak kenaikan harga rokok memperlihatkan bahwa 88% responden mendukung kenaikan harga rokok agar anak-anak tidak membeli rokok.

Jika dikelompokkan pada prilaku merokok; 80,45% perokok, 93,01% non-perokok, dan 92,63% yang sudah berhenti merokok setuju harga rokok dinaikan lagi. Renny Nurhasanah, anggota tim peneliti PKJS-UI, mengungkap, “Sebanyak 66% dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 per bungkus dan sebanyak 74% dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi Rp70.000 per bungkus.”

Hal ini menunjukkan dukungan yang positif dari para perokok sendiri untuk menaikkan harga rokok secara signifikan dibanding harga rokok yang sekarang rata-rata Rp17.000 per bungkus.

Tingginya harga rokok di mana para perokok akan berhenti membeli menunjukkan bukti bahwa rokok adalah zat adiktif, sehingga mereka akan membeli juga harga rokok yang tinggi, sampai batas kondisi keuangann tidak cukup leluasa. Dalam survei ini ditemukan bahwa prevalensi perokok aktif pada responden dengan penghasilan keluarga Rp2,9 juta dan Rp3-6,9 juta berturut-turut 44,61% dan 41,88%, lebih tinggi dibandingkan responden dengan penghasilan keluarga >Rp 7 juta yang memiliki prevalensi sebesar 30,91%.

Hal ini membuktikan, keluarga berpendapatan dan berpendidikan rendah cenderung merokok. Tidak mengherankan jika Badan Pusat Statistik menyebutkan rokok menyumbang kemiskinan. Temuan kajian PKJS UI.

“Jika para perokok dari kalangan keluarga miskin mampu membeli rokok sebungkus sekitar rata-rata Rp17.000 per hari atau Rp 510.000 per bulan; namun mengaku tidak mampu membayar iuran JKN Rp50.000 per bulan atau Rp200.000 per keluarga, maka masyarakat kita tidak normal.l.

Pemerintah seharusnya berani menaikan harga rokok yang berarti secara tidak langsung dapat menghimpun dana lebih banyak untuk pembangunan,” jelas Prof. Hasbullah Thabrany.

Dalam kesempatan yang sama, Ruddy Gobel, Chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan masalah rokok sangat dekat dengan persoalan kemiskinan. Ini disebabkan karena dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin sangat besar yang merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras atau mencapai 11% dari total pengeluaran rumah tangga miskin.. “ Kami setuju pemerintah menaikkan harga rokok setinggi mungkin sebagai salah satu langkah konkrit untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin sehingga pengeluarannya dapat dialihkan untuk konsumsi makanan bergizi, biaya pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan” ujarnya. Rokok murah juga mendorong anak-anak yang mampu membeli rokok dan dapat teradiksi sehingga menjadi perokok yang tidak dapat berhenti seterusnya. Melihat fakta-fakta di atas ditambah dukungan yang kuat dari masyarakat, pemerintah, dalam hal ini ”Kementerian Keuangan RI, tidak perlu ragu untuk menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi. Penelitian ini dan juga gerakan masyarakat yang terancam stunting dan pemiskinan menjadi dukungan kuat bagi upaya Kemkeu untuk menaikan cukai yang sekaligus ikut menyelesaikan banyak masalah kemiskinan.

“Kami mendesak pemerintah menaikkan cukai rokok paling sedikit sebesar 20% per tahun depan agar tujuan utama UU Cukai, yaitu mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok 1% per tahun dapat tercapai. ”Pemerintah tidak perlu gagap atau takut berefek buruk pada petani dan pekerja rokok.”tutup Prof Hasbullah.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *