Baju Adat Bashofian Jadi Warisan Budaya Sang Gubernur Jawa Timur

OPINI : Oleh Cokro Wibowo Sumarsono

KABAR duka tersebar luas di jagad maya, berita _lelayu_ atas kepergian salah satu putra terbaik bangsa itu menghentak publik Jawa Timur. Sang Gubernur telah tiada.

Meninggalkan beragam kenangan suka duka yang cukup mendalam. Putra pejuang kemerdekaan itu telah meninggalkan kita semua, _asal sepi bali marang sepi_, kembali ke pangkuan Sang Maha Pencipta.

Basofi Sudirman, adalah simbol penyatuan antara ketegasan dan kelembutan sekaligus. Seorang jenderal yang ditempa oleh kerasnya aturan kedisiplinan khas keluarga militer. Di sisi lain jiwa seni Sang Gubernur mengalir deras bak aliran kali Brantas yang membelah provinsi di ujung timur pulau Jawa tersebut.Lantunan tembang  ”Tidak Semua Laki-Laki” selalu mengiringi sambutan dan pidato resmi Sang Gubernur di banyak momentum. Sangat berfungsi guna mencairkan suasana protokoler birokrat yang kerap terjadi pada era kuasa Orde Baru. Basofi Sudirman berhasil mengangkat derajat musik dangdut yang sangat digemari masyarakat pinggiran menjadi konsumsi umum segala lapisan. Mantan Gubernur Jawa Timur ini telah berhasil mengharmonisasikan banyak elemen politik dengan cara menyanyi dangdut bersama para stakeholders.Warisan Sang Gubernur yang tak kalah penting adalah baju adat khas ”Basofian”. Disebut demikian karena hampir di setiap acara resmi Basofi Sudirman selalu menggunakan pakaian adat yang telah didesain ulang sesuai dengan perkembangan jaman tersebut. Pakaian adat ala ”Basofian” merupakan pakaian hasil kreasi baru yang menggabungkan beberapa unsur pakaian adat asli Jawa Timuran.Baju hitam mewakili unsur Islam Kejawen, yang banyak dianut oleh masyarakat Jatim di pedalaman, pegunungan dan pesisir selatan. Kain jarit bermotif khas pesisiran mewakili unsur tradisi pakaian adat pesisir utara Jawa Timur. Blangkon khas “Suroboyoan” mewakili unsur budaya subkultur Madura, Jenggala dan Pendalungan. Rantai jam di saku merupakan simbol persatuan segenap subkultur yang mendiami wilayah Jawa Timur. Jam adalah simbolisasi dari prinsip kerja keras, kerja cerdas dan kerja cepat ala “Brang Wetanan”. Sebuah penanda bagi pemakainya yang selalu menghargai waktu, seperti yang tergambar dalam motif ikonik relief Kala di candi-candi Jawa Timuran. Bentuk jam yang bundar mengingatkan akan prinsip _”Cakramanggilingan” khas tradisi Jawa.Lengan panjang dan kerah pendek mewakili unsur pesantren yang biasa menggunakan pakaian koko, menunjukkan spirit religiusitas yang senantiasa dijunjung tinggi oleh masyarakat di propinsi ini. Kancing baju besar-besar di tengah dada menunjukkan sikap terbuka dan lambang _keperwiraan_. Mengingatkan kita kepada jargon politik Bung Karno dalam menghadapi bangsa penjajah _”ini dadaku, mana dadamu !”_.Pakaian yang praktis dan tidak ribet menggambarkan karakter JawaTimuran yang tidak _mbulet_, selalu berbicara pada inti pokok permasalahan yang ada. Selop adalah model sandal semi sepatu yang mencirikan _ketrengginasan_ orang lapangan, pantas dipakai di acara seremonial ataupun acara santai. Termasuk memudahkan pemakainya jika akan sembahyang di Masjid.Baju adat _Basofian_ sangat populer di kalangan seniman tradisi. Dipakai oleh dalang, pengrawit, wiraswara, pemain ludruk, pembawa acara (MC), _ponang pinanganten kakung_ (pengantin pria), spiritualis, hingga para pemain hadrah. Sangat pantas dipakai dalam segala situasi seremonial mulai tingkat kampung hingga acara protokoler kenegaraan. Serta sangat layak digunakan oleh para lelaki di semua jenjang umur dan strata sosial.Baju adat _Basofian_ meleburkan basis massa abangan dan santri dalam satu kesatuan budaya. Baju adat ”Basofian” adalah perlawanan kultural terhadap tesis Clifford Gertz yang membelah pulau Jawa dalam kategorisasi Abangan, Priyayi dan Santri.

Baju adat Basofian adalah wujud kecerdasan wong Jawa Timur yang cinta akan persatuan serta tidak mau dibenturkan dengan saudara sendiri se petarangan.

Baju adat Basofian merupakan bukti lapangan bahwa rakyat Jawa Timur bisa menjadi model percontohan persatuan nasional. Baju adat tersebut dipopulerkan oleh Basofi Sudirman mantan Gubernur Jawa Timur.

Baju ini merupakan gabungan bentuk dari beskap, surjan, baju koko dan blazer sekaligus. Cara cerdas dalam menangkap kemajuan jaman.

Selamat jalan Jenderal lapangan, kangen laku blusukan nir pencitraanmu. Tetesan airmata sebagai tanda dukacita mendalam para pelaku budaya atas kepergianmu Sang Jenderal Kebudayaan.

Mari kita kibarkan bendera setengah tiang di tiap halaman dan perempatan !

*Glugu Tinatar, Landungsari Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *