Dunia Puisi: Inovasi Atau Sekarat?

Transkripsi Orasi Denny JA Menerima Penghargaan Sastra Tingkat ASEAN, Dari Malaysia

Siapa yang membunuh puisi? Who Killed Poetry? Puisi akan punah. Poetry is going extinct.

Itulah berita yang muncul di Washington Post tahun 2015. Data menunjukkan bahwa pembaca puisi terus menerus turun dari tahun ke tahun. Karena itulah inovasi dalam puisi , pembaharuan dalam puisi, penyegaran dalam puisi itu satu keharusan.

Pembaca puisi terus menurun. Itulah survei yang dikutip Washington Post tahun 2015. Di tahun 1992, menurut survei ini yang membaca puisi di Amerika SerikatĀ  20% dari populasi.

Survei itu berbunyi, “Ibu dan Bapak sekalian di tahun ini apakah Ibu dan Bapak membaca minimal satu puisi di tahun ini, di tahun riset dilakukan?” Tahun 1992 yang menyatakan “ya, saya membaca minimal satu puisi di tahun ini” adalah sebanyak 20%.

Lalu dua puluh tahun kemudian, tahun 2012. Sama pertanyaannya, namun yang mengataka “ya, saya membaca minimal satu puisi tahun ini” menurun hingga 6.7%.

Karena survei ini dilakukan tiap tahun, grafik menunjukkan bahwa pembaca puisi sistematis menurun dari tahun ke tahun.

Dari 20 persen di tahun 1992, merosot pelan-pelan di tahun 2012 hanya tinggal 6.7 persen saja. Ini data, ini fakta, ini riset ilmiah.

LSI Denny JA (Lingkaran Survei Indonesia) di tahun 2018 melakukan survei di Indonesia yang sama, dengan sedikit diperluas cakupannya. Sama pertanyaannya, “Apakah di tahun ini, di tahun 2018, Bapak Ibu sekalian membaca minimal satu saja buku sastra; bisa novel, cerpen, ataupun puisi?”

Jawabannya hanya 6% saja yang menyatakan bahwa mereka minimal membaca satu buku sastra.

Lalu kami gali lebih dalam lagi, “Sebut nama buku dan pegarangnya.” Ternyata yang ingat nama buku dan pengarangnya hanya 3% saja.

Di Indonesia hal yang sama terjadi. Yang ingat membaca buku sastra dalam waktu satu tahun hanya 3%.

Kami tanya lagi, “Bapak Ibu sekalian apakah mengenal nama-nama di bawah ini yang merupakan daftar tokoh-tokoh sastra ternama di Indonesia?” Yang mengenal mereka ternyata 3% ke bawah. Ini juga data, ini juga fakta.

Pertanyaannya adalah mengapa? Mengapa pembaca sastra khususnya puisi semakin merosot?

Saya mengutip satu majalah puisi paling tua dan paling terkenal di dunia, Poetry: A Magazine of Verse. Majalah ini sudah berdiri lebih dari 100 tahun yang lalu.

Tahun 2006, ketika peringatan 100 tahun majalah ini, seorang tokoh pujangga dan akademisi bernama John Barr, dia adalah pendiri yayasan majalah ini, mengatakan. Bahwa publik makin terpisah dari dunia puisi.

Bukan publik yang meninggalkan puisi. Tapi pertama-tama, puisi lah yang meninggalkan publik karena para penyair semakin tidak merespons dunia yang semakin berubah, semakin tidak merespon isu-isu yang menjadi kepedulian publik luas.

Para penyair hanya asyik masuk dalam fantasinya sendiri dan komunikasi dengan sesama penyair, yang semakin lama komunitasnya makin mengecil.

Mereka mengembangkan bahasa tinggi tapi bahasa yang semakin susah dipahami publik. Akibatnya publik menjauh dari dunia puisi.

Terimakasih jika saya dianggap ikut berikhtiar, ikut mengerjakan ijtihad budaya dengan mengembangkan puisi esai ini. Memang puisi esai adalah respon saya terhadap situasi. Karena ini adalah puisi yang formatnya agak berbeda.

Ada catatan kaki di sana karena ia memfiksikan fakta yang sedang menjadi kepedulian banyak orang. Disampaikan dengan bahasa yang populer. Dia berbabak-babak, berkisah-kisah, ada drama di dalamnya.

Dan juga puisi esai ini melampaui teks karena ia pun diterjemahkan menjadi video animasi dan film. Ia sesuai dengan era digital yang orang katakan internet of things.

Memang sejak tahun 2012 ketika pertama kali saya membawa puisi esai berjudul Atas Nama Cinta, kini sudah terbit lebih dari 100 buku puisi esai.

Ada banyak hal fenomenal. Di Indonesia misalnya, terbit 34 buku puisi esai dari 34 provinsi se-Indonesia. Total ada 176 penyair, penulis, wartawan, dan aktivis dari Aceh sampai Papua. Mereka menulis masing-masing local wisdom, apa yang menjadi masalah utama di sana dan dituliskan dalam puisi esai.

Buku-buku itu juga sudah berkembang menjadi 34 skenario film. Dari puisi menjadi skenario film.

Saya pun merekam dalam buku pertama saya mengenai lima kisah diskriminasi yang oleh sutradara film, Hanung Brahmantyo, diubah menjadi lima pendek @ 50 menit.

Di era virus Corona kita concern dengan situasi. Bersama dengan teman-teman dari Aceh sampai Papua bahkan juga ada yang dari Malaysia dan Australia, bersama kita merespons isu-isu yang penting, yang waktu itu kita sebut sebagai Jeritan Batin di Era Virus Corona.

Kita melihat ada pembaharuan yang dibawa puisi esai. Ada catatan kaki sebagai tanda hasil riset. Ada bahasa yang populer, karena kita merasa bahasa puisi yang paling bagus adalah bahasa yang dimengerti bahkan oleh anak SD sekalipun.

Puisi esai juga mengangkat isu-isu yang sedang aktual di zamannya. Dan tidak terlupa, di era Internet of Things, puisi pun melampaui teks. Ia dengan mudah diterjemahkan ke dalam audio visual, video, dan film.

Puisi esai saya juga dibacakan oleh seorang Panglima TNI di pertemuan penting partai politik. Ia juga dibacakan dalam pertemuan para aktivis nasional. Ia juga dibacakan dalam berbagai talkshow televisi.

Sekarang ini puisi esai sudah pula resmi masuk menjadi kosakata baru Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kamus mendefinisikannya seperti yang sering saya definisikan bahwa ini adalah ragam sastra, sebuah genre lain, yang berkisah moral, sosial, fakta, fiksi, dan catatan kaki.

Kembali pada isu awal: siapa yang membunuh puisi? Saya katakan, puisi tidak terbunuh. Puisi tidak mati!

Kami para pecinta puisi akan terus menghidup-hidupkannya; akan terus melakukan inovasi; akan terus melakukan pembaharuan.

Puisi esai datang sebagai satu bunga saja. Ia dimaksudkan untuk mengajak bunga-bunga yang lain sehingga membuat aneka taman puisi menjadi kembali berwarna-warni.

Puisi tidak mati, puisi tidak terbunuh, karena kami terus melakukan inovasi.

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *