“In Memoriam” Leo Kristi “Salam Dari Desa”

Oleh Slamet AS

Bojonegoro – Detakpos – Bagi saya Leo Kristi sang komposer rakyat yang mampu menghasilkan banyak lagu dengan napas kerakyatan, bahkan  menganransemen sekaligus menyanyikan sendiri lagunya dengan gaya teatrikal tidak hanya sekedar idola.

Lebih dari  itu ia mampu menggugah saya untuk menghapal lagu-lagunya, antara lain, di Deretan Rel-Rel, Hati Muda Lay-Lay, Gulagalugu Suara Nelayan,  juga sejumlah lagu lainnya yang mampu saya hapal sekaligus memainkan baik solo maupun bersama-sama dengan teman-teman.

Tapi itu dulu ketika saya masih duduk di SMAN  Bojonegoro, mulai 1976 dan seterusnya, dan saya mulai berhenti menekuni musik 1984 karena harus bekerja.

Tak heran ketika saya dipaksa tampil di Katiga Kafe milik Gendut Suharso untuk membawakan lagu Leo Kristi jelas jauh dari bagus. Tiga lagu karya Leo Kristi saya bawakan, syairnya saya banyak yang lupa, juga jangan ditanya cara saya memainkan gitar.

Tapi  saya tetap bersemangat menyanyikan tiga lagu yang sebelumnya saya awali dengan lagu karya sendiri yaitu Merah Putih Satu Negeri yang saya akui terpengaruh dengan lagu-lagu almarhum Leo Kristi.

Sebenarnya tidak terhitung lagu Leo Kristi yang bisa saya mainkan, tetapi sekarang juga tidak terhitung lagu Leo Kristi yang sudah saya lupa cara memainkan gitar juga syair lagunya.

Maklum kalau dihitung mundur sudah 30 tahun lebih saya hampir tidak pernah bermain gitar dengan membawakan lagu Leo Kristi, karena kesibukan menulis sebagai wartawan.

“Suaranya sering tidak kuat dan serak, ” celoteh Nurhidayati, istri saya yang saya ajak cangkruk di Katiga Kafe, Jumat (16/5). 

Kenangan yang pernah saya peroleh secara langsung yaitu ketika saya  satu panggung bersama Leo Kristi yang tampil di Bojonegoro bersama Naniel Yakin dan Mung Sriwiyana sekitar 1985.

Ketika satu panggung atas prakarsa komunitas Bravos (almarhum Suprapto), saya bergabung dengan Mintono Soekarno yang memiliki grup dengan nama Antanas yang juga membawakan lagu-lagu karya sendiri.

Meskipun saya pecinta Leo Kristi, tetapi saya tidak mengenal secara langsung, justru saya lebih kenal dengan almarhum Gombloh sejawat Leo Kristi.

Bisa kenal dengan Gombloh hanya kebetulan, karena ternyata kakak perempuan Gombloh menetap di Bojonegoro dan salah satu anaknya teman saya kuliah.

Dengan demikian ketika dua kali Gombloh tampil ke Bojonegoro selalu saya diminta menjadi pengawalnya, baik ketika tampil di Gedung OKE dan di SMAN 1 Bojonegoro.

Berdasarkan catatan M. Anis mantan wartawan eks Surabaya Post yang juga teman saya menyebutkan Gombloh meninggal 9 Januari  1988 pada  usia 40 tahun dan Franky  (meninggal  20 April 2011 pada 58 tahun)  dan Leo,  telah mewariskan karya-karya dahsyat untuk masyarakat Indonesia.

Leo Kristi juga meninggalkan sekelompok fans sangat loyal, dengan memanfaatkan media sosial fesbuk, yang  kemudian menjadi  komunitas yaitu LKers yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air.

Salah seorang LKers asal Bogor A Reza Suhendra beberapa tahun yang lalu datang langsung ke rumah saya di Desa Sukorejo, Kecamatan Kota, menceriterakan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Malaranggeng termasuk fans yang tergabung dalam LKers.
.
Ketika itu ia banyak menceriterakan  perjalanan hubungan Lkers dengan Leo Kristi yang menetap di Bandung termasuk di dalamnya serta beberapa rencana penampilan konser rakyat Leo Kristi di TMII Jakarta, juga tempat lainnya termasuk Lkers melakukan kegiatan.

“Kami sering bersama-sama dengan Leo Kristi,” ucap dia.

Sepertinya di antara, Lkers A Reza Suhendra bisa jadi merupakan pewaris lagu Leo Kristi, karena ketika di rumah saya ia memperagakan sejumlah lagu karya Leo Kristi dengan gitar bolong saya dengan apik.

Leo Kristi memang telah pergi, tetapi karya-karyanya tidak bisa dipungkiri bisa menjadi tonggak karya anak Bangsa yang sangat mencintai Negeri ini. Sepeninggal sang Maestro pada 21 Mei 2017 sayapun teringat karya-karyanya salah satunya yaitu,

 “Salam Dari Desa”

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi – padi telah kembang
Ani – ani seluas padang roda giling berputar – putar
Siang malam tapi bukan kami punya

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar – putar siang malam
Tapi bukan kami punya

Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi – nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi – nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya

Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku di sana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa. (*)

  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *