Mengenal Sufi Rumi lewat “Meme” Denny

Oleh : A Adib Hambali (*

MEME adalah medium kesenian paling demokratis yang ditemukan peradaban ini. Medium seni yang paling merakyat. Lebih dari itu meme itu dari rakyat untuk rakyat, mudah dibuat, disebar dan dinikmati.

Karena kemajuan teknologi, maka mudah mengekspresikan diri melalui meme. Tak perlu keahlian khusus melukis dan sastra untuk membuat meme.

Mudah pula menyebarkan kepada publik luas. Internet sudah menghubungkan seorang individu langsung ke dunia global.

Adalah Denny JA, peneliti dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menyebarkan sebanyak 40 meme kutipan renungan penyair, sufi dan mistikus Jalaluddin Rumi.

Semua kutipan itu dikuatkan dengan lukisan imajinatif. Tak kurang dan tak lebih, ia mengaku hanya ingin ikut menyebarkan renungan mendalam sang sufi itu secara mudah di era internet ini.

Denny pun berkisah, pada tahun 2009, saat berkunjung ke Hodjapasha Culture Center di Turki. Setahun setelah UNESCO baru mengkonfirmasi Mehlevi Sema Ceromony sebagai satu karya agung warisan peradaban dunia (Masterpieces of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Dia sempat menikmati tarian “Darwish”. Para penari berputar- putar perlahan, lalu gerakannya semakin lama semakin cepat. Mereka seakan larut meditatif, trance, dan tenggelam dalam kegaiban. Keinginan melihat langsung satu peninggalan dari penyair sufi Jalaluddin Rumi yang dikenal dengan “tari sufi” di Tanah Air, pun terpenuhi.

Di tempat itu, juga dijajakan banyak kutipan Rumi. Beberapa yang diingat Denny: “Mengapa sepanjang hidup dirimu berjalan merangkak. Padahal dirimu terlahir dengan sayap. Terbanglah.”
Atau kutipan lain: “Apa yang dirimu cari, juga mencarimu.”

Dari Hodjapasha Culture Center itu datang satu rencana. Pada satu waktu, Denny ingin ikut menyebarkan renungan Jalaluddin Rumi ke publik luas. Tapi dia belum tahu media apa dan bagaimana caranya?

-000-

Pada tahun 2016, Denny, menerbitkan kutipan Rumi itu dalam lukisan digital. Sebanyak 40 kutipan Rumi diberikan ilustrasi lukisan digital. Terbitlah buku berjudul: “Agama Cinta: Jalaluddin Rumi dalam Lukisan Digital.”

Namun di tahun ketika buku itu terbit, dia pun merasa belum puas. Kurang cepat menyebarkan renungan mendalam itu dalam bentuk lukisan digital. Apalagi lukisan digital itu ada dalam sebuah buku.

Di tahun 2019, di musim Pilpres, banyak sekali dirinya membuat meme dengan isu pilpres. Sekitar 500 meme politik itu sudah diterbitkan dalam satu buku. Judul buku itu: Katakanlah dengan Meme: Isu Pilpres 2019 dalam Genre Baru Komunikasi Politik.

Selesai era Pilpres 2019, ketika selesai hiruk pikuk itu, Denny pun tergugah. Mengapa renungan Rumi tidak disajikan dalam bentuk meme. Ini akan menjadi meme yang inspiratif. Cukup dibaca tiga menit, namun dapat mengubah perspektif hidup. Renungan meme Rumi pun sampai ke grup WA Forum Redaktur.

10 tahun sejak kunjungan ke Hodjapasha Culture Center, terwujud sudah kehendak Denny menyebarkan renungan Jalaluddin Rumi. Mediumnya ketemu: meme. Panggungnya: internet.

-000-

Denny JA pun berkisah, Jalaluddin Rumi adalah menjadi penyair paling populer di Amerika Serikat (AS) saat ini. Padahal Ia sudah wafat lebih dari 800 tahun lalu. Ia juga berasal dari komunitas Muslim. Sementara Islam kini menjadi agama paling tidak populer di AS, dibandingkan agama besar lain.

BBC Culture Oktober 2014 mengulasnya, walau hanya sepintas. Buku puisi Rumi terjual jutaan kopi di AS, melampaui penyair kontemporer paling hebat dunia barat sekali pun. Puisinya dibacakan bukan saja di mesjid, tapi juga di gereja, sinagog dan universitas.

Yang membaca puisi Rumi bukan hanya komunitas sastra serius. Denny menyebut para selebriti dunia ikut membacanya, seperti Madona, Demi Moore, Depak Chopra.

Ada apa dengan Rumi? Namun yang lebih penting lagi, ada apa dengan kita yang tetap menyukai penyair dari abad pertengahan itu.

Denny mengutip buku Andrew Harvey seorang akademisi agama yang banyak menulis soal Jalaluddin Rumi.

Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus. Ia mempunyai visi spiritual yang mendalam. Ia juga memiliki renungan intelektual yang luas seperti Plato. Dan Ia juga mahir dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakespeare. Begitu tulis Denny

Gabungan ketiganya membuat Rumi bukan saja relevan bagi dunia modern. Namun kedalaman visi spiritualnya, keluasan daya jangkau intelektualnya, dan keindahan puisinya tetap sulit terlampaui oleh penyair lain.

Rumi lahir di tahun 1207, di kota Balkh, yang sekarang ini menjadi wilayah Afganistan. Di usia 37 tahun, ia berjumpa dengan Shams Tabrizi, seorang mistikus. Selama tiga tahun mereka intens sekali berhubungan. Setelah itu, Shams menghilang tanpa jejak dan berita.

Aneka analisa dibuat untuk menjelaskan hubungan Rumi dan Shams Tabrizi. Sebagian menyatakan Shams adalah guru spiritual yang sangat dikasihi Rumi. Kepadanya Rumi banyak sekali belajar. Perjumpaan keduanya sering dikisahkan dengan aneka hal gaib.

Satu versi menyatakan Shams datang ketika Rumi sedang membaca buku. Shams bertanya apa yang anda baca. Dengan tak peduli Rumi menjawab, “anda tak akan mengerti.”

Lalu oleh Shams buku itu ia buang ke Sungai. Terburu Rumi menyelamatkan buku itu yang terendam di sungai. Ia kaget bukan kepalang. Ternyata buku itu sama sekali tidak basah.

Rumi balik bertanya kepada Shams: mengapa buku ini tidak basah? Padahal buku ini kau ceburkan ke sungai? Shams menjawab seperti jawaban Rumi sebelumnya: Anda tak akan mengerti.

Perjumpaan dengan Sham dan hilangnya sang guru secara misterius menjadi api dan bara dua buku penting Rumi: Divans- e Shams dan Masnavi. Dua buku puisi ini buah perjalanan batin Rumi hampir 30 tahun, dari saat ia berusia 37 tahun, saat pertama berjumpa dengan Shams, sampai kematiannya di usia 66 tahun.

Divans-e Shams buku cinta Rumi kepada Sang Guru. Buku ini terdiri dari 3,229 puisi dengan jumlah kalimat sebanyak lebih dari 40 ribu.

Sementara Masnavi puncak dari karya Rumi tentang perjalanan spiritual yang lebih umum. Masnavi dikerjakan Rumi lebih dari 15 tahun. Ia terdiri dari enam buku. Buku keenam tak kunjung selesai ketika Rumi wafat. Total buku Masnavi terdiri lebih dari 50 ribu baris.

-000-

Tapi mengapa Rumi penyair yang wafat 800 tahun lalu tetap menjadi penyair paling populer di masa digital kini?

Tentu analisa bisa beragam. Salah satunya manusia modern era digital semakin menjadi desa global. Mereka membutuhkan landasan spiritual dan moral yang universal bersama untuk semua.

Ilmu pengetahuan sudah memberikan banyak. Namun kebutuan meaning of life bagi sebagian tak bisa dipenuhi semata oleh ilmu pengetahuan.

Dunia modern tetap menyediakan agama dan aneka kepercayaan. Tapi ketika agama yang ada semakin menjadi formal dan melahirkan sekat-sekat primordial, sebagian membutuhkan spiritualitas yang mengatasi sekat itu.

Rumi menjadi suara spirtualitas universal yang melampaui sekat. Walau datang dari tradisi Islam, Rumi mampu membuatnya universal, tanpa batas dan sekat primordial. Dalam bahasa Rumi, ia menyelam jauh ke akar dari akar dari akar agama sehingga sampai pada hati yang menyatukan semua manusia.

Puisinya tidak memihak satu agama, seperti, “Agamaku adalah cinta. Setiap hati rumah ibadahku.” Bahasa cinta Rumi gunakan. Itu membuatnya universal melampaui formalitas agama.

Banyak pula penyair dan pemikir lain menyatakan hal yang sama dengan Rumi. “Namun Rumi tetap yang paling mampu merumuskan dengan sederhana, dalam dan indah,”tulus Denny.

*):Penulis Redaktur senior Detakpos-.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *