Merawat Potensi Alam Daerah : Informasi Garam dalam Prasasti Biluluk (2)

Lamongan, Jawa Timur, merupakan daerah produsen garam lintas mas. Salah sebuah daerah di Hindia-Belanda yang konon menjadi produsen garan yang terbilang utama adalah Jawa Timur.

Bukan hanya Kalianget pada Kabupaten Sumenep, yang telah semenjak tahun 1921 didirikan Pabrik Garam dibawah naungan ‘Jawatan Regie Garam’ – kemudian (tahun 1937) berubah menjadi ‘Jawatan Regie Garam dan Candu’, namun juga pada sepanjang Pantura (Pantai Utara) Jawa.

Kawasan pesisiran Jawa Timur, yang membentang mulai dari perbatasnnya dengan Provinsi Jawa Tengah (yaitu di daerah Lasem), Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan hingga Probolinggo telah sangat lama dikenal sebagai sentra produsen Garam.

Sub-area utara Lamongan – yang merupakan areal pesisiran – memiliki potensi alamiah yang tepat untuk dibudidayakan bagi area produksi garam dan perikanan (baik air payau maupun laut). Kedua sektor u

saha yang berbeda ini berada di sub-area yang sama ini. Meski beda jenis usahanya, namun saling melengkapi satu sama lain. Garam bagi para nelayan amatlah bermanfaat untuk pengawetan maupun pembuatan ikan asin (gereh, gerih).

Kabupaten Lamongan merupakan salah satu diantara 20 (dua puluh) besar produsen garam rakyat di seluruh Indonesia.

Selain Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Tuban, Jeneponto, Pangkajene, Brebes, Jepara, (Kota) Surabaya, Pamekasan, Demak, Bima, Rembang, Sumenep, Indramayu, Pati, Sampang dan Cirebon.

Pada tahun 2015 Kabupaten Lamongan mampu memproduksi garam sebanyak 38,8 ribu ton, lebih tinggi dari dua derah tetangganya (Tuban : 29,4 ribu ton, dan Gresik : 16,5 ribu ton). Namun, lebih rendah daripada Kota Surabaya (86,2 ribu ton).

Produksi garam di Lamongan menuduki urutan ke-15 diantara 20 sentra produksi garam Indonesia, dengan produksi tertinggi diraih oleh Cirebon sebesar : 435,4 ribu ton (2016 © Databoks, Katadata Indonesia).

B. Informasi Garam dalam Prasasti Biluluk 1. Arti Istilah dan Ragam Jenis Garam 1.1. Ragam Peristilahan Kosa kata ‘garam’ dalam Bahasa Indonesia, secara harafiah antara lain menunjuk kepada: senyawa kristalin (NaCl) yang merupaka klorida dan sodium, dapat larut dalam air, dana sin rasa (KBBI, 2002:335).

Salah satu keguanaan garam berkenaan dengan makanan. Terkait itu, terdapat kata gabung antara unsur kata ‘garam’ dan kata lain, seperti “garam-dapur (garam untuk campuran bumbu masak)’ dan ‘garam-meja (garam yang digunakan atau disediakan pada meja makan)’.

Bila ditinjau dari bentuknya, terdapat: (a) garam pasir dan (b) garam berbongkah-bongkah yang dicetak berbentuk balok (garam bata). Istilah ini juga dikenal dalam Bahasa Jawa, bahkan semenjak dalam Bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, juga dengan sebutan ‘garam’ atau ‘garem’ (Zoetmulder, 1995: 278, 276).

Istilah “garen” telah disebut dalam prasasti tembaga (tamraprasa dari raja Balitung, bersama dengan padak (garam dari tempat pembuatan garam/pegaraman ~ yang dinamai “garam padak”), minyak (lenga)dan.gula, yang dibawa dengan cara dipikul (pinikul) (Naersen, BKI 95, 1937; 441~461).

Dengan demikian, istilah.ini telah digunakan sejak medio.abad X Masehi. Hal ini diperkuat oleh adanya kata jadian “agarem (bergaram, digarami) dalam.Kakawin Ramayana (25.40), yang diterjemah Sundari Pnrgbahasa Sanskreta ke dalam Bahasa Jawa Kuna juga pada abad IX Masehi.

Kata jadian lain kedapatan dalam Kitab Bomakawya (81.35), terkait dengan adanya pemanfaatan garam untuk pembuatan telor (hantiga, antiga) asin, sebagaimana tergambar dalam perkataan “ikantigagarem ~ tetdiri atas: ika~antiga~garem”.

Sumber data tekstual lain yang menyebutkan adalah prasasti Sarwadhamma (Penampihan II) bertarikh Saka 1191 (1269.Masehi), betkenaan dengan pajak terhadap garam (pagagarem) (Brandes, OJO 79, 1913).

Selain kata “garam, garem dan padak”, ada istilah lain yang juga menunjuk padanya, yaitu “uyah”. Istilah Jawa  Kuna/Tengahan yang juga dikenal dalam.

Bahasa Jawa Baru ini ini kedapatan dalam Kidung Tantri Kadiri (4.178) dari Masa Majapahit, dalam kaitan dengan makanan (panganan), sebagaimana tergambar dalam perkataan “pinangannya tan pahuyah (makanannya kurang/tanpa garam)”.

1.2. Jenis Garam Bleng

Dalam sejumlah hal bleng berlainan dengan borak.

Biasanya, asam borat murni (boraks) dibuat oleh industri farmasi. Boraks berbentuk serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, PH: 9,5.

Senyawa dalam borak mampu memperbaiki tekstur makanan, sehingga menghasilkan rupa yang baik dan bila digoreng akan mengembang, empuk, teksturnya bagus dan renyah. Dalam dunia industry, boraks digunakan sebagai bahan solder dan pembersih, pengawet kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa.

Berbeda dengan bleng, yang dibuat secara tradisional dari ladang garam atau dari kawah lumpur. Misalnya, bleng yang produksi oleh warga di sekitar Bledug (kawah lumpur, mud vulcano) Kuwu pada Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tenggah.

Bledug Kuwu adalah letupan gas pada endapan lempung, yang terkumpul secara berkala. Gas yang terdapat pada letupan Bledug Kuwu merupakan gas metan biogenik (biogenic methane gas), yang merupakan hasil proses diagenesis dan biasa terjadi pada kedalaman 0 hingga 4 km.

Terbentuk dari sisa jasad mahluk hidup dan aktifitas jasad renik anaerob pada kondisi temperatur tinggi (± 100 – 125°C) dan tekanan dari beban sedimen diatasnya. Air formasi yang ikut terbawa keluar saat terjadi letupan gas mempunyai kadar garam (salinitas) yang tinggi dan sangat potensial untuk diolah menjadi garam dapur.

Kelebihan garam dapur volcano ini adalah sudah mengandung yodium dengan kadar yang lebih tinggi dibanding garam dapur hasil olahan dari air laut, sehingga relatif bisa langsung dipergunakan tanpa harus melalui proses penambahan yodium lagi kedalam garam.

Oleh penduduk setempat lumpur ini dimanfaatkan mineralnya untuk pembuatan konsentrat garam secara tradisioal, yang dinamai ‘bleng’. Caranya adalah dengan menampung air dari bledug ke dalam glagah (batang bambu dibelah dua), kemudian dikeringkan.

Bleng merupakan sejenis boraks, berupa larutan garam fosfat berbentuk kristal, berwarna kekuning-kuningan, banyak mengandung unsur boron serta beberapa mineral lain. Sebagai garam mineral, dalam bleng terkandungan asam borat sebanyak 0,4 % persen dengan berat jenis 1,0012 kg/l (Purnomo, 2007). Sinonimnya adalah natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat.

Penggunaan bleng untuk makanan dengan: (a) dicampur langsung dalam adonan setelah dilarutkan dalam air; atau (b) diendapkan terlebih dahulu, kemudian cairannya dicampurkan dalam adonan (Anonymous, 2005). Sebenarnya, bleng telah diproduksi di Indonesia semenjak, yaitu sejak tahun 1700 atau bahkan boleh jadi lebih tua lagi. Terdapat sebutan lain untuk bleng, seperti ‘cetitet, ketek, pijer’ atau ada pula yang menyatakan sebagai ‘obat gendar, obat puli atau obat lontong’.

Sebagai suatu jenis boraks, penggunaan bleng pada makanan turut dibatasi. Hal ini secara rinci diatur dan dibatasi oleh UU Kesehatan dan Keselamatan Nasional, mengingat bahwa boraks tidak aman dikonsumsi pada makanan apabila dalam dosis berlebihan.

Akan tetapi, penggunaan boraks dalam dosis berlebihan sebagai komponen di dalam makanan ironisnya meluas di seluruh dunia.

Memang, dampaknya tak serta-merta muncul setelah mengonsumsi makanan mengandung bleng, melainkan bersifat komulatif (sedikit demi sedikit), sehingga mengumpul di dalam tubuh. Mengkonsumsi makanan berboraks dalam jumlah berlebihan bisa menyebabkan gangguan otak, hati dan ginjal.

Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan koma hingga kematian.
Batas aman/legal penggunaan boraks dalam makanan adalah 20 gram per 25 kg bahan.

Lantaran berbahaya bagi kesehatan, maka ada saran untuk mengganti penggunaan borak atau bleng dengan air merang dan STPP (Sodium Tri-polyphosphate).

Dengan konsentrasi yang sama, bahan-bahan itu diketahui sebagai tidak akan memengaruhi tanggapan organoleptik (kesan fisik dan rasa) dari kerupuk beras.

STPP mampu untuk: (a) menambah citarasa, (b) memperbaiki tekstur, (c) mencegah terjadinya rancidity (bau tengik), serta (d) meningkatkan kualitas produk akhir dengan mengikat zat nutrisi yang terlarut dalam larutan garam seperti protein, vitamin dan mineral (Shand, et al., 1993).

Perihal ini sejalan dengan pernyataan Thomas (1997) bahwa STPP dapat menyerap, mengikat ataupun menahan air, meningkatkan Water Holding Capacity (WHC) dan keempukan.

Menurut FDA (Food and Drug Administration), pemakaian alkali fosfat adalah 0,5 persen pada produk. Apabila penggunaannya melebihi dosis 0,5 %, maka bisa menurunkan penampilan produk, yaitu terlampau kenyal seperti karet dan terasa pahit.

Penggunaan STPP 0,5 % pada krupuk puli dan 0,2 5% dalam bakso, dapat membuat krupuk puli dan bakso menjadi aman, sehingga tak was-was lagi untuk mengkonsumsinya.

 2. Suratan Data tentang Garam pada Prasasti Biluluk 2.l. Lokasi Penemuan Sejauh ditemukan, telah berhasil didapatkan sebanyak empat set prasasti tembaga (tamra-prasasti) Biluluk, yang karenanya lazim dinamai “Prasasti Biluluk I, II. III dan IV’. (*)


(M. Dwi Cahyono A. adalah Arkeolog dan Sejarawan Universitas Negeri Malang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *