Oleh Denny JA
“Aku akan menceraikanmu
Tak usah kau terpana
Seharusnya sudah Kau duga
Aku lebih mencintai Imam Besar.”
Lebih kuat dari halilintar
Ucapan itu masih menggelegar
Menangis Rahma
Hujan turun di hati
Lebat sekali
Suami tak pulang
3 hari menjaga posko
Imam besar kini tersangka
Ia terkena pasal pidana
“Penguasa,” ujar suami,
“Sedang bermain api.
Api segera membakar Istana
Mampus!”
Suami marah sekali
Pukul 2.00, Dini hari
Rahma menatap si buah hati
Anak semata wayang
Tiga tahun usia
“Anakku sayang.
Ibu harus bagaimana?
Kau butuh Ibu
Tapi Kau juga butuh Ayah.”
“Ibu berusaha, Nak
Sekuat yang bisa
Kau harus dapatkan kasih Ibu
Juga sayang Ayah.”
Sang putri terlelap
Ia selimuti
dengan hati
dengan kasih
Terngiang kembali itu petaka
Titah suami di atas singasana
“Kau terlalu sekuler
Sedangkan Aku
Agama itu jalan hidup
Berulang kau hujat Imam besar”
“Kuberi kau waktu seminggu
Merenunglah selalu
Jika kau tak berubah
Aku yang berubah
Menceraikanmu”
Suami berucap
Puluhan belati menancap
Mengiris-ngiris jantungnya
Nyit, nyit, nyit
Perih nyelekit
Air mata deras dari hati
Rahma, Oh sesak sekali
Ditatapnya itu foto
Ketika berdua masih sejoli
Tapi sejak dua tahun lalu
Suami berubah
Foto Imam besar
Ada di mana mana
Di kamar
Di ruang tamu
-000-
Pagi sekali
Rahma menemui kakak
Dipeluknya sang kakak
Ia mencari pegangan
Pada Pohon yang rindang
Seperti biasa
Kakak sangat menyayangi
Mencium dahi
“Masih soal suamimu?,” tanya kakak.
Rahma mengangguk.
“Kali ini lebih parah, Kak.”
Kembali itu air mata
menjadi telaga
Satu pesan kakak
“Pahami dunia suamimu, Dik.
Selami Pelajari apa itu agama
Lihat dari kacamata suamimu.
Bukankah kau masih ingin bersama?”
“Agama?” tanya Rahma
Sang kakak terus memeluknya
“Buka hatimu, adikku sayang.
Berkorbanlah.”
Kakak berulang meyakinkan
Dibisikannya kembali itu mantra
“Ingat pesan kakak, ya Dik
Dalami agama Pandang dengan cara beda.”
“Pahami langit di balik langit
Selami yang tersirat
di balik yang tersurat.”
-000-
Rahma sarjana humaniora
Tamat dari Amerika
Ia doktor. Ph.D
Ia memang muslimah
Tapi orang bilang itu Muslimah KTP
Kali ini
Serius Ia ingin pahami Agama
Seharian sudah
Duduk tercokok Rahma
laptop di muka
Bersilancar di Google itu
Matanya tak lagi terbelalak
Data itu sudah Ia tahu
Ada 4.300 agama?”
Setiap agama besar
Tepecah- pecah pula
Rahma sudah pula pahami
Mengapa suami lebih cinta Imam besar
Jangankan tinggalkan istri
Bahkan ada yang bersedia mati.
Ledakkan bom bunuh diri
Demi agama
Demi keyakinan
Itu perang salib
Atas nama Tuhan
Mereka saling bunuh
Sepanjang ratusan tahun
Diiringi teriakan:
Haleluya!
Allahu Akbar!
Sambil menyatakan cinta
Tangan berlumuran darah
Sambil memuja yang suci
Hati penuh benci
Atas nama surga
Jutaan orang mati
Islam versus Kristen
Protestan lawan Katolik
Sunni versus Shiah
Ada pula Budha Bin Laden.
Ini agama lembut
Bisa pula menjadi keras
Keras sekali
Kejam sekali
Ia tahu
Itu konflik di masa lalu
Tapi agama di masa kini
Rahma tak juga yakini
Penganut 4.300 agama
Banyak percaya
Hanya agamanya yang benar
4.299 lainnya hanya semak belukar
Hanya agamaku penghuni surga
Semua lain tempatnya di neraka
Abadi di sana
Dibakar api yang panasnya maha
Laptop itu segera ditutup
Rahma tak lagi tahan
Semua Ia sudah tahu
Tak ada yang menyentuh
-000-
Kembali Ia temui kakak
“Aku tak suka, kak.
Sejak dulu
Banyak kekerasan di Agama.”
Sang kakak tertawa
“Kau hanya melihat satu sisi, Dik.
Bukankah ada cahaya
Setelah gelap malam?
Bukankah ada dataran tinggi
setelah terjalnya jurang?
Bukankah semua warna warni?
Seperti warna pelangi?
“Banyak cahaya dalam agama
Banyak keteduhan di sana
Banyak pencerahan”
Kau harus mulai
Dengan membuka hatimu!”
“Bukan informasi yang mengubahmu.
Tapi niatmu.”
“Lihatlah
Apa yang tak nampak di matamu
Kembali kakak berbisik:
“Selami agama!”
-000-
Kembali Rahma mencoba
Kini Ia mainkan jiwa
“Wahai hati, bukakan kalbu
Kuingin mencintai agama.”
Laptop itu Ia ON-kan lagi
Dari pagi hingga pagi
Hanya agama yang Ia baca
Dari Google ke Google
Rahma terbang lebih jauh
Ia buka telinga
Buka mata
Buka kalbu
Siap mendengar Ulama
Mungkin kali ini
Ada yang menyentuh
Siapa pemimpin Umat?
Ulama Sunni berbeda dengan Ulama Shiah
Bagaimana dengan sistem politik?
Ini ulama pro teokrasi
Itu ulama pro demokrasi
Sistem ekonomi?
Di sini ulama pro Kapitalisme
Di sana ulama pro Sosialisme
Main catur itu haram!
Demikian Fatwa Ulama
Oh tidak!
Main catur halal
Sanggah Ulama lain.
Ulama banyak beda pendapat
Yang tersirat ataupun tersurat
Yang esensialis ataupun teknis
Ulama versus Ulama
Yang mana yang harus kuikuti?
Tanya Rahma di hati
Kembali laptop Ia tutup
Ia tutup pula kalbunya
-000-
Setelah Nabi tiada
Tiada pula otoritas tunggal agama
Yang tersisa hanya tafsir belaka
Semua hanya menduga
Menduga duga saja
Agama menjadi panggung.
Aneka tafsir bertarung
Tak ada yang benar benar mengerti
Yang mana yang sejati
Rahma terdiam
Ia meyakinkan hati:
Sudah kubaca segala
Berulang- ulang
“Aku mustahil bisa fanatik
Tak ada Imam kecil bagiku
Apalagi, tak ada Imam besar.”
Dini hari
Sepi sekali
Pukul 4.00 Subuh
Bertanya si Rahma
Kepada malam yang gulita
“Mengapa suami bisa fanatik?
Mengapa kakak juga militan?
Sedangkan aku tiada bisa.”
“Apakah aku tak mendapat hidayah?”
Malam diam saja
Tak jawab apa apa.
Tapi data itu terang benderang
Daftar 10 negara
Yang paling mampu buat rakyat bahagia
Ruang publiknya netral agama (5)
Itulah paham agama yang Ia bela
Tiada henti Rahma menghujat
Sang Imam besar yang dipuja
membawa agama
kembali ke ruang publik
membalikkan sejarah
Pergi ke masa lalu
Itu yang tak bisa Rahma setujui
Tidak seujung jari.
Dipeluknya bocah yang tidur
Oh cintaku yang terbujur
Kembali Rahma menangis
Kembali hatinya gerimis
Perceraian akan tiba jua.
Apa daya
Ia tak bisa mengubah keyakinan.
Tapi bagi Rahma, tak apa beda paham agama.
Cinta keluarga
di atas paham agama.
Tapi bagi suami, paham agama
di atas keluarga.
Apa daya
Suami lebih mencintai Imam Besar.***
Desember 2020
* Ini kisah sepenuhnya fiksi, walau diinspirasi oleh peristiwa sebenarnya
Sumber: WAG Forum Redaktur