Zona Merah Ekonomi, Hati Hati Krisis Sosial dan Pilitik

JakartaDetakpos-Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA melakukan survei tatap muka pada tanggal 8-15 Juni 2020, melibatkan 8.000 responden di 8 provinsi besar di Indonesia.

Delepan provinsi tersebut yaitu Provinsi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Provinsi Bali.

Margin of error (Moe) survei ini adalah sebesar +/- 2.05 %. Selain survei, LSI Denny JA juga menggunakan riset kualitatif (analisis media dan indepth interview), untuk memperkuat temuan dan analisa.

Selain survei, LSI Denny JA juga menggunakan riset kualitatif (analisis media dan indepth interview), untuk memperkuat temuan dan analisa.

Kesimpulan survei yang dirilis, Rabu (8/7/2020), kecemasan publik terhadap kondisi ekonomi berada di zona merah. Sebesar 74.8 % publik menyatakan bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini, saat pandemi covid-19, lebih buruk dan bahkan jauh lebih buruk dibandingkan masa sebelum covid-19.

Hanya 22.4 % yang menyatakan, kondisi ekonomi mereka tidak berubah dibandingkan masa sebelum covid. Dan hanya di bawah 5 % yaitu 2.2 % yang menyatakan kondisi ekonomi mereka lebih baik.

Mereka yang menyatakan kondisi ekonomi buruk, merata di hampir semua segmen. Baik mereka yang kelas ekonomi atas maupun wong cilik, berpendidikan tinggi maupun rendah, tua maupun muda, dan semua konstituen partai politik.

LSI membuat tujuh rekomendasi penting merespons kecemasan publik yang sudah meningkat ke zona merah.

Pertama, hati-hati lahirnya krisis sosial, dan berujung pada krisis politik. Dengan persepsi publik terhadap ekonomi yang berada di zona merah, maka saat ini public seperti rumput kering yang mudah dibakar. Diawali dengan krisis kesehatan, ditambah krisis ekonomi, maka bisa berubah menjadi krisis sosial dan krisis politik.

Kedua, publik sebaiknya dibebaskan mencari nafkah asal tetap menjaga protokol kesehatan yang ketat. Ekonomi tetap harus berjalan, agar kekhawatiran publik tak makin memburuk.

Ketiga, ajak influencer di masyarakat bekerja secara massif. Saat new normal, resiko penularan corona akan makin besar, karena publik lebih aktif di ruang-ruang publik.

Influencer elite harus dilibatkan untuk mengedukasi dan mengontrol protokol kesehatan. Misalnya para pemuka agama menjerukan dipatuhinya protokol kesehatan pada rumah ibadah masing masing.
Rumah ibadah menjadi salah satu tempat penularan virus corona yang tinggi.

Keempat, aneka bantuan sosial yang sudah diprogramkan secepatnya disalurkan dan harus tepat sasaran. Karena survei ini menunjukan bahwa mayoritas masyarakat membutuhkan bantuan tersebut pada tingkat yang kritis. Terutama pada mereka yang berasal dari kelas ekonomi bawah.

Kelima, pemerintah harus lebih hati-hati, dan menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak populer. Terutama kebijakan yang makin membebani ekonomi rakyat.

Keenam, para elite yang berhadapan secara politik menunda dulu provokasi yang dapat membelah publik dan membuat mereka makin membara.

Ketujuh, hindari spirit Setelah Covid-19 Selesai Dulu (SCSD). Justru saat ini perlu sama- sama kembali menggerakan ekonomi sedini mungkin. Ini agar kondisi ekonomi tak makin memburuk. (d/2).

Editor: A Adib

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *