IHW Persoalkan Kewenangan Fatwa Halal oleh BPJPH

JakartaDetakpos– Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal Indonesia (Indonesia Halal Watch/IHW) Dr H Ikhsan Abdullah SH MH menyoroti RUU Omnibus Law

Cipta Lapangan Kerja (Cilaka,) terkait fatwa produk halal.

Menurut Ihsan RUU Omnibus Cilaka yang berkaitan dengan fatwa produk halal yaitu pada Pasal 1 angka 10 yang menyatakan:
“Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”.

Ihsan berpandangan bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum Negara. Pemerintah memberikan kewenangan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkan kehalalalan suatu produk. Inilah masalah yang mempunyai potensi perlawanan dari umat Islam

“Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh Negara menjadi komisi fatwa. Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama. Justru negara harus memperkuat posisi ulama dengan gaya, bukan malah mendelegitimasi apalagi menghilangkan,”ungkap Ihsan Abdullah di Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 10 bahwa : “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI”.

“Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat seharusnya diperkuat lagi oleh Negara bukan dicabut,”tegasnya.

Dikatakan, apabila RUU CILAKA mengesahkan ketentuan pasal tersebut, maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan Negara telah mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya MUI dan ini akan berhadapan dengan Umat Islam,”tegasnya.

Selanjutnya, pada RUU CILSKS Pasal 7, memasukan ketentuan norma baru yang sebelumnya tidak ada dengan cara menyisipkan pasal baru.

“Ini jelas tidak lazim jika pun boleh dilakukan maka ketentuan RUU CILAKA Pasal 4 sebenarnya Pemerintah sedang menciptakan fase kemunduran 30 tahun ke belakang.”

Selain itu, lanjut dia, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menganggu ketentraman masyarakat yang selama ini telah diberikan jaminan kenyamanan dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk yang berlogo halal MUI, penanda jaminan kehalalan suatu produk yang tidak berdasarkan pernyataan sepihak dari pelaku usaha (self declare), karena pada dasarnya semua pelaku usaha ingin melakukan self declare atau menyatakan kehalalan produknya sendiri.

Justru dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain.

“Bila ketentuan ini dipaksakan, maka negara sedang meruntuhkan bangunan moral yang selama ini dilakukan oleh para ulama.
Maka akibatnya dapat menciptakan disintegrasi antar ulama dan ormas Islam karena ketentuan Pasal RUU Cilaka membuka ruang kepad semua Ormas Islam untuk memberikan fatwa tertulis atas sebuah produk.

” Ini sangat berbahaya karena Ulama yang selama ini telah bersatu dalam rumah besar MUI akan terpecah karena semua diberikan ruang untuk berfatwa yang diizinkan negara,”papar doktor lulusan Unej Jember.

Maka, lanjut dia, persatuan umat Islam tidak akan pernah terjadi.ini justru kemunduran cara pandang pemerintah yang akan nemboroskan anggaran Negara untuk memperbaikinya.

Selanjutnya Pasal 14 UU JPH yang mengatur Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH. Dalam RUU dihilangkan pengaturan terkait syarat-syarat dari pengangkatan auditor halal yang salah satu syaratnya adalah memperoleh sertifikat dari MUI. (d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *