LBH: Salahkan Korban, OJK Gagal Pahami Pinjaman Online

JakartaDetakpos-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan kecewa terhadap sikap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dinilai gagal memahami permasalahan fintech peer-to-peer lending atau pinjaman online (pinjol) karena menyalahkan korban (victim blaming).

OJK dituding tidak memahami tugas pokok dan fungsinya sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang, dan bertindak seolah-olah layaknya juru bicara perusahaan aplikasi pinjaman online.

Hal tersebut LBH Jakarta simpulkan setelah menghadiri undangan pihak OJK pada Jumat pagi (14/12) kemarin.

Sebagaimana diketahui bersama, LBH Jakarta telah membuka Pos Pengaduan Korban Pinjaman Online sejak 5 November-24 November 2018. Selama pos dibuka, tercatat 1.330 korban sudah mengadukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia yang mereka alami. Atas pengaduan tersebut, LBH Jakarta menemukan 14 poin pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan aplikasi pinjaman online dengan korban yang berasal dari 25 provinsi di Indonesia.

Dengan demikian, masalah pinjaman online sudah menjadi masalah nasional. Atas pemberitaan yang ramai terhadap ribuan pengaduan tersebut, OJK kemudian mengundang LBH Jakarta dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dan pihak Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI).

Dalam pertemuan tersebut, OJK pada awal pertemuan menyatakan bahwa kejadian-kerjadian seperti teror, intimidasi, dan pelanggaran hukum lainnya yang dialami para korban tidak akan terjadi apabila para korban tidak cidera janji atau wanprestasi dalam perjanjian utang piutang yang diadakan oleh perusahaan aplikasi pinjaman online.

“Pernyataan ini sangat mengejutkan karena teror, pelecehan seksual, penyebaran data pribadi, dan lain-lain yang termasuk dalam 14 poin pelanggaran tersebut bukanlah pelanggaran biasa, tapi sudah termasuk tindak pidana,” pegiat hukum LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait dalam rilis yang diterima hari ini, Minggu (16/12).

Menirit Silvia, jika pun ada pelanggaran hukum perdata dalam bentuk wanprestasi (terlambat membayar, tidak mampu membayar) yang dilakukan oleh para korban tidak lantas menjadikan mereka layak menerima pelanggaran hukum pidana.

Dalam pertemuan tersebut OJK juga meminta data pengaduan di LBH Jakarta terhadap perusahaan aplikasi pinjaman online yang terdaftar (25 dari 89 perusahaan aplikasi pinjaman online yang diadukan), sembari menyatakan tidak akan segan memberikan saksi berat pada pinjaman online yang terdaftar tersebut apabila terdapat bukti-bukti yang cukup.

Bagaimana mekanisme setelah data tersebut diserahkan dan bagaimana dengan yang tidak terdaftar?

“Tidak ada jawaban yang tegas dari OJK tentang hal ini. Padahal OJK menggunakan istilah perusahaan aplikasi pinjaman online yang terdaftar sebagai “legal”, dan yang tidak terdaftar sebagai “ilegal”, papar Silvia.

“Nyatanya yang “legal” juga melanggar dan tidak ada sanksi yang komprehensif terhadap yang “ilegal” karena mereka terus beroperasi.”

Dikatakan, OJK juga selama ini mengklaim sudah menerima 2.000 pengaduan namun tidak jelas tindak lanjut pengaduan tersebut.

Ditegaskan, tindakan OJK yang menimpakan kesalahan pada korban semata dan pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi membuat OJK terlihat seakan-akan menjadi “juru bicara” perusahaan aplikasi pinjaman online.

OJK dinilai belum sepenuhnya memahami bahwa dirinya memiliki tanggung jawab sebagaimana diperintahkan Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (termasuk Lembaga Jasa Keuangan Lainnya) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

“LBH Jakarta sangat terbuka untuk bekerja sama dengan OJK dalam menyikapi permasalahan pinjaman online ini. Meskipun begitu, LBH Jakarta belum dapat memberikan data-data 1.330 pengaduan yang telah diterima mengingat para korban belum memberikan izin apakah mereka bersedia data mereka diserahkan kepada OJK.”

Data-data korban merupakan rahasia klien yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan peraturan perundangan lainnya.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *