Analisis Berita : Oleh A Adib Hambali
KONTESTASI Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta telah usai. Anies R Baswedan dan Sandiaga S Uno ditetapkan sebagai pemenang.
Suhu dan tensi politik pun menurun. RIvalnya, Basuki Tjahaya Purnana (Ahok) telah divonis dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama.
Praktisi hukum Humphrey R Djemat bersama Triana Dewi Seroja dalan bukunya berjudul ” Hubungan Fatwa MUI dengan Hukum Positif di Indonesia”, menyampaikan pandangan hukum untuk pembelajaran masyarakat demi tegaknya hukum dan keadilan rakyat.
Setelah mencermati proses persidangan Ahok, ada yang menjadi perhatian, yakni terkait dengan Fatwa/Sikap Keagamaan MUI ini dalam kasus Ahok, karena banyak pihak menjadikan justifikasi untuk melakukan penghukuman kepada Ahok.
Maka perlu diketahui secara seksama di mana posisi Fatwa/Sikap Keagamaan MUI dalam hukum positif di Indonesia. Apakah fatwa dan sikap keagamaan MUI itu bisa dijadikan landasan untuk menghukum Ahok?
***
MUI didirikan di Jakarta pada 26 Juli 1975, dalam pertemuan alim ulama yang dihadiri oleh Majelis Ulama Daerah, pimpinan ormas Islam Nasional, pembina kerohanian dari empat angkatan, serta beberapa tokoh Islam yang hadir sebagai pribadi.( hal 13). Pertemuan MUI itu ditetapkan sebagai Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama.
Prof Hamka Haq, Dewan Penasehat MUI, masih dari buku Humphrey, dalam persidangan menjelaskan filosofi berdirinya MUI oleh Pemerintah untuk menjadi mitra memperlancar pembangunan. Waktu itu pemerintah ingin membangun kerukunan trilogi: internal umat beragama (Islam), kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Jadi, MUI tidak boleh menjadi rival pemerintah. Itu filosofinya, sehingga fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan kepentingan pemerintahan yakni yang bertujuan untuk kelancaran pembangunan.MUI berbeda dengan Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas lain yang terlahir dengan sendirinya. Tapi MUI dibangun oleh pemerintah untuk kelancaran pembangungan pemerintahan.
Jadi, jika ada kesalahan dari aparatur pemerintah MUI telebih dahulu melakukan klarifikasidan memberikan saran agar aparatur dalam menjalankan pemerintahan lebih baik sehingga proses kemitraan antara Pemerintah dan MUI berjalan dengan baik. ***
Kedudukan fatwa MUI. Pasal 1 angka 2 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,. Pasal 7 UU itu mengatur hirarki peraturan perundang-undangan yakni: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR,3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.
Prof Hamka Haq juga berpendapat, Fatwa MUI itu bukan merupakan suatu hukum positif. (hal 15). Ada tiga kategori hubungan antara ayat-ayat Alquran dan Hadist dengan Negara Hukum Indonesia. Pertama, ada ayat Alquran atau Hadist yang otomatis berlaku karena dijamin oleh UUD ’45, yaitu ibadah. Jadi, seluruh ayat Alquran dan Hadist tentang ibadah itu berlaku dengan sendirinya karena dijamin oleh Pasal 29.
Kedua, ada ayat hukum dan Hadist hukum yang berlaku karena diberlakukan sebagai bagian dari hukum positif. Contoh UU Perkawinan. Ayat-ayat, hadist-hadist tentang nikah itu berlaku, karena diberlakukan oleh UU Perkawinan.
Ketiga adalah ayat-ayat Alquran atau Hadist hukum yang tidak diberlakukan karena tidak dianggap sebagai bagian dari hukum. Contohnya, surat Al-Maidah 38: “Laki-laki pencuri, perempuan pencuri, potong tangannya.” Ayat ini, semua umat Islam yakin benar. Tapi ini tidak berlaku karena yang berlaku untuk pencuri adalah KUHP dan tidak ada ketentuan bahwa pencuri dihukum menurut agamanya.
Prof Denny Indrayana (hal 18), menjelaskan, MUI bukan badan, lembaga, komisi negara yang dibentuk dengan undang-undang, atau pemerintah atas perintah undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011. Memang, MUI disebut dalam beberapa Pasal UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, namun bukan berarti MUI dibentuk, diperintah dengan undang-undang. Karena itu, MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif di Tanah Air.
Terkait dengan kedudukan Fatwa MUI dalam hukum positif, Prof Mahfud MD menyatakan, fatwa MUI bukan hukum positif, karena yang menjadi hukum positif harus masuk kategori peraturan perundang-undangan atau suatu lembaga/komisi negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang. MUI tidak dibentuk berdasarkan UU, sehinggakeputusan atau aturan yang dikeluarkan oleh MUI bukan sebagai hukum positif.
Ada yang berpendapat Fatwa MUI ini sebagai bagian dari sumber hukum, bahwa sumber hukum itu terdiri dari peraturan perundang-undangan, yurispudensi, perjanjian/konvensi Internasional, kebiasaan Ketatanegaraan, dan doktrin.
Jika Fatwa MUI disebut doktrin juga kurang tepat karena doktrin lahir dari pendapat seseorang yang bersifat umum (tidak spesifik pada kasus tertentu) dan telah berulang-ulang kali digunakan dalam kasus yang sama. Sedangkan Fatwa MUI ini pendapat kelembagaan dan juga bersifat individual sehingga kategori sebagai sumber hukum juga dapat dikatakan kurang tepat.
Jika fatwa MUI bukan hukum positif/hukum yang berlaku di Indonesia, fatwa MUI tidak dapat dijadikan pijakan untuk menyatakan seseorang telah melakukan kesalahan atau menjustifikasi seseorang telah melakukan penodaan/penistaan agama apalagi sampai dijadikan landasan untuk menghukum seseorang.
Terhadap dugaan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, Humphrey yany juga salah satu pengacara Ahok, di bagian penutup bukunya menyatakan, tidak tepat jika landasannya adalah Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI.(halaman 24). (*)