Musafir Itu Tebar Teror di Kampung Melayu

Opini : Oleh AAdib Hambali

/”Musafir apa yang kau cari/musafir apa arti hidupmu…”/

PERTANYAAN yang diungkap dalam penggalan lirik lagu Panjaitan Bersaudara (Panbres) itu belum pernah terjawab tuntas.Apa yang dicari dan tujuan musafir dalam lagu yang melejit pada era 1980-an tersebut?

Mungkin yang dapat menjawab adalah Ilich Ramirez Sanchez atau lebih dikenal sebagai Carlos The Jackal. Nama itu bisa bikin merinding bulu kuduk, karena ia dianggap sebagai ikon teroris.

”Sejak saat ini, terorisme akan menjadi bagian rutin kehidupan sehari-hari.” Demikian ancaman yang ditulis Carlos dalam pengasingan.Ketika generasi berikutnya muncul dari kelompok ultra kanan yang menggunakan terorisme sebagai media seperti IRA, Red Brigade, dan Baader Mainhof sibuk di negerinya sendiri, Carlos telah melanglang dunia menebar teror.

Lebih dari 20 tahun pria asal Venezuela itu menjadi musafir di berbagai negara Arab dan maghribi sambil terus melakukan aksinya sebelum ditangkap aparat keamanan Prancis pada 14 Agustus 1994.

Usamah bin Ladin juga membikin jengkel AS ketika dia berkelana di Afghanistan di bawah rezim Taliban. Bahkan negara adidaya itu tak mampu menggertak rezim tersebut. Bagi Taliban, saat itu Usamah merupakan musafir yang harus dilindungi. Mereka bahkan rela berkorban demi dia.

Di situlah letak kesamaan Carlos dengan Usamah. Keduanya sulit ditangkap saat itu karena mendapat privilege sebagai musafir. Pandangan ini digunakan sebagai dasar untuk menebar teror. Bagi Carlos, tidak ada lagi negara yang bebas dari teror.

Teror isi dapat diekspor ke negara yang damai sekalipun melalui musafir penebar teror itu. Ancaman yang ditebar Carlos ada benarnya.Jika teroris generasinya dulu menjadikan Palestina sebagai pusat pelatihan dengan mentor George Habash, maka generasi baru menjadikan Afghanistan sebagai kawah candradimuka. Dan dari situ mengalir banyak alumnus yang berperan sebagai musafir yang siap berjibaku.Terus Tumbuh Fenomena musafir juga berlaku di Indonesia. Dr Azahari dan Noordin M Top dari Malaysia bergerak di negeri ini. Sementara, Faturahman Al-Ghozi, Dulmatin, dan kawan-kawan yang merupakan warga Indonesia memilih Filipina. Demikian pula Hambali yang beraksi di sejumlah negara, sebelum dibekuk di Thailand. Gerakan musafir penebar teror sepertinya belum akan berhenti.Apalagi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah melansir, potensi teror di Tanah Air masih besar.

Fakta mencengangkan justru mengancam eksistensi kelompok Islam moderat seperti NU. Masjid sebagai pusat dakwah mulai saat itu dikuasai golongan radikal untuk menyiarkan ajaran dan keyakinanya.

Jadi, selain faktor payung hukum yang lemah serta kesenjangan dan keadilan dalam upaya pemberantasan terorisme, faktor eskpor-impor musafir penebar teror juga menjadi penyebab yang perlu diwaspadai.

Terkini, 500 orang yang kembali dari Suriah ke Tanah Air, perlu menjadi perhatian khusus. Teror bom dan aksi teror pun masih muncul dan terkini di Kampung Melayu yang menewaskan aparat polisi yang sedang mengawal pawai ta’aruf  jelang Ramadhan.

Kepala Pusat Studi Kepancasilaan IAIN Kendari, Laode Wahab,  menengarai penyebarluasan radikalisme sebagai akar terorisme  semakin mengkhawatirkan.TIdak hanya di kalangan pelajar setingkat SMA dan perguruan tinggi, siswa di TK sudah dikenalkan radikalisme.(Detakpos (Rabu 26/4/2017).

Penyebarluasan paham radikal terorisme juga sudah menyasar anak didik di tingkat SMP, SMA dan mahasiswa. Di antaranya melalui wadah Rohani Islam (Rohis), Lajnah Dakwah Sekolah (LDS) dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK).Memang tidak semua Rohis, LDS, atau LDK menyebarluaskan paham radikal. Tapi hasil penelitian menunjukkan, Rohis dan sejenisnya itu menjadi pintu masuk radikalisme di kalangan pelajar.

Tidak berlebihan jika anggota Komisi VIII DPR RI Khatibul Umam mengusulkan agar semua organisasi yang mendukung kegiatan yang radikslisme itu dibubarkan. (Detakpos,26/5/2017).Mengapa,  karena secara praktis dan pragmatis agama mudah digunakan dan sangat efektif untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi publik.Maka dengan demikian negara harus memeriksa semua organisasi keagamaan apa pun di Tanah Air secara ketat, teliti, dan menyeluruh.

Jika ada bukti ormas keagamaan tersebut mentolerir terorisme sekecil dan dengan alasan apa pun, maka harus segera ditindak sebagaimana aturan yang tertuang dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (ormas).

* Wartawan senior di Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *