PBNU: Polemik Putusan MK, Segera Revisi KUHP

JakartaDetakpos– PBNU mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak sesuai dengan norma agama di Indonesia.

Menurut Ketua PBNU Robikin Emhas, desakan itu diputuskan dalam Munas dan Kombes NU di Lombok, belum lama ini.

”Di antara pesan Munas Alim Ulama dan Konbes NU adalah agar Pemerintah dan DPR segera merampungkan pembahasan Rancangan KUHP yang ada. Apalagi kehendak untuk merubah KUHP sudah ada sejak akhir tahun 1960-an,”ujar Robikin di Jakarta, Minggu (17/12).

Robikin menjelaskan, melalui Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial reviewmengenai perluasan norma tentang zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis.

Sementara iti saat ini pengaturannya ada di dalam KUHP  yang merupakan warisan kolonial.

Putusan tersebut tidak bulat alias ditempuh melalui dessenting opinion. Empat dari sembilan hakim menyatakan pendapat berbeda terhadap penolakan permohonan uji materi tersebut.

Robikin berpendapat, bahwa rumusan norma zina dalam KUHP tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia.


”Karena yang dikategorikan zina hanya hubungan kelamin laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang lain,”tutur dia.

Konsekuensinya, menurut Robikin, kalau kedua pelaku single alias tidak berstatus nikah dengan orang lain maka menurut KUHP bukan zina dan tidak bisa dijatuhi hukuman dengan pasal perzinaan.


”Hanya saja, jika dibaca secara saksama, saya tidak melihat MK menolak substansi permohonan perluasan norma yang diajukan pemohon,”tutur dia.

Dengan bahasa lain, menurut Robikin, MK tidak melegalisasi perzinaan, perkosaan dan hubungan sesama jenis. 


Namun MK, berpendirian bahwa perluasan norma mengenai zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis adalah domain positive legislature bukan wilayah negative legislature.


Secara singkat dikatakan, menurut positive legislature dapat diartikan sebagai tindakan melakakukan penafsiran konstitusi secara aktif dengan cara membentuk suatu UU.


Sedangkan penilaian bahwa suatu UU dan norma yang dihasilkan oleh pembentuk UU sebagai bertentangan dengan konstitusi merupakan negative legislature. 


Positive legislature adalah kewenangan cabang kekuasaan legislatif, sedangkan negative legislature merupakan domain cabang kekuasaan yudikatif.

Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menurut Robikin, positive legislature diperankan oleh pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan DPR. Sedangkan negative legislature menjadi kewenangan MK.


”KUHP  selain sudah usang sehingga tidak compatiable dengan perkembangan masyarakat, beberapa norma KUHP bahkan tidak sesuai dengan landasan filosofis bangsa dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia,”tutur dia.

”Di antaranya adalah norma tentang perzinaan, pemerkosaan dan hubungan sesama jenis,”tutur dia.

Dengan mempertimbangkan hal seperti itulah, menurut Robikin, maka Munas Alim Ulama dan Konbes NU di NTB tanggal 23-25 November 2017 menjadikan Rancangan KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR dijadikan salah satu pokok bahasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *