Pesan Politik di Balik Bom

PAK Wir (Wiranto -Red), bisnis apa yang enak sekarang,” tanya mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada Menko Polhukam sekarang dalam satu perjalanan.Tak terduga, pertanyaan Gus Dur itu dijawab, ”Bisnis mercon merek Amrozi.” Jawaban itu membuat mantan ketua umum PBNU itu tertawa terpingkal-pingkal.

 

Guyon itu disampaikan Gus Dur dalam peluncuran buku karya M Mahfud MD “Setahun Mendampingi Gus Dur.”

 

Terlepas guyon yang disampaikan Wiranto kepada Gus Dur itu, ternyata masalah bom ini belum pernah berakhir, dan terus terjadi dari masa ke masa dengan berbagai motif.

 

Di era Presiden Soekarno dan Soeharto, teror bom banyak terjadi, karena muatan politik dari kelompok atau lawan politik yang tidak suka atas pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Teror bom guna menciptakan keresahan masyarakat yang pada gilirannya menghilangkan kepercayaan rakyat.

 

Pada zaman Presiden Soekarno, teror bom relatif sedikit, namun Presiden pertama RI itu pernah menjadi target.Di era Orde Baru terjadi  pada 1984, yakni peledakan bom di Gedung BCA di Jalan Pacenongan, BCA kompleks pertokoan Glodok, dan BCA Jalan Gajah Mada. Para pelaku mengaku protes atas peristiwa Tanjung Priok.

 

Pada Desember 1984, terjadi ledakan bom di Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) di Jalan Margono, Malang, Jawa Timur, Candi Borobudur juga tak luput dari sasaran ledakan bom pada tanggal 20 Januari 1985. Motif diduga untuk memecah antar umat beragama. Pada saat reformas ledakan menggemparkan  di Rumah Susun Tanah Tinggi pada 18 Januari 1998.  Atrium Plaza Senen pada tanggal 11 Desember 1998, peledakan bom di Plaza Hayam Wuruk pada 15 April 1999. Kelompok ini juga di tuduh yang meledakkan Masjid Istiqlal 19 April 1999.Tahun 2000, ledakan bom dimulai di Medan pada bulan Mei. Motif kemungkinan besar upaya adu domba antarumat beragama, karena yang diledakkan Gereja Kristen Protestan Indonesia Medan. Sehari kemudian, menyusul ledakan di Gereja Katolik di Jalan Pemuda Medan. Menyusul  peledakan bom di Kejakgung 4 Juli 2000.

Puncak dari semua aksi bom yang melanda kota-kota besar di Indonesia adalah ledakan bom di Legian Bali pada 12 Oktober 2002. Ledakan menghebohkan karena korbannya hampir mencapai 200 orang dan sebagian besar  warga negara asing.Semua mata mengarah ke Indonesia.

 

Ada yang menyebut dari kelompok Al-Qaedah, ada juga yang menyebut Jamaah Islamiyah, bahkan ada yang mengait-kaitkan dengan Osama bin Laden. Yang menarik, mereka yang dituduh  sebagai pelaku bom pernah mengenyam kehidupan di luar negeri, seperti di Malaysia, Filipina, maupun di Pakistan dan Afghanistan. Mereka adalah Hambali, pernah bermukim di Malaysia.

 

Begitu juga Abdul Azis alias Imam Samudera alias Kudama, Ali Gufron alias Muklas, Amrozi, dan lainnya.24 Mei 2017, bom bunuh diri di Kampung Melayu mengakibatkan gugurnya 3 Bhayangkara Polri, menewaskan dua pelaku bom bunuh diri dan melukai 7 Bhayangkara Polri dan lima orang masyarakat sipil.

 

Meningkatnya kelompok intoleransi yang mengancam ke-Bhinneka-an dan ancaman terorisme di tingkat global seolah berjalan paralel dan mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.Presiden Joko Widodo mengharapkan agar pembahasan revisi UU Terorisme dipercepat guna mencegah aksi terorisme di Indonesia.

 

UU Teroris yang ada saat ini adalah produk yang dibuat pascaledakan bom Bali, sehingga pasal-pasalnya belum memuat aturan yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk dapat menangkap orang (kelompok orang) yang diduga menurut ​ hukum akan melakukan tindakan Terorisme (ada perbuatan permulaan/pendahuluan yang cukup).  

 

Revisi UU Teroris memuat pasal-pasal yang memberikan kewenangan pada aparat penegak hukum untuk dapat menindak orang atau kelompok yang diduga akan melakukan tindakan terorisme, misalnya orang-orang yang diduga anggota ISIS yang baru pulang dari Suriah.

 

Justru yang menonjol  soal pro dan kontra pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi terorisme. Dalam perkembangan pembahasan Revisi UU Teroris ada wacana untuk mengubah pendekatan penegakan hukum menjadi perang melawan terorisme.

 

Maka pendekatan penegakan ukum adalah pendekatan yang sangat ideal.  Perubahan menjadi perang melawan terorisme menunjukkan kemunduran, merusak reformasi Polri dan TNI.

 

Di tengah adu wacana dan perdebatan politisi yang biasanya butuh waktu, jangan sampai teror bom terus muncul lagi. Kenapa tidak disederhanakan saja dengan praktik-praktik BKO untuk pengamanan membantu Kepolisian seperti yang sering dilakukan selama ini.

 

 

Oleh : Wartawan Senior di Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *