Prestasi Hakim MK Biasa Biasa Saja

JakartaDetakpos-SETARA Institute melakukan penelitian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi untuk periode 10 Agustus 2018 hingga 10 Agustus 2019, sebagai bagian dari partisipasi perayaan Hari Konstitusi, 18 Agustus, kemarin.

Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Inggrit Ifani menjelaskan, penelitian ini bertujuan mempelajari kualitas putusan MK dan mendorong kepatuhan para penyelenggara negara dan warga negara pada Konstitusi RI.

Temuan pada Bagian Kualitas Putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa secara umum, pada periode riset ini, hakim-hakim MK menunjukkan prestasi biasa saja.

“Bahkan pada 8 putusan justru MK tidak menunjukkan progresivitas dalam pengambilan putusan,”lanjut Inggrit Ifani dalam rilisnya.

Dinamika implementasi kewenangan MK tergambar dalam proses pengambilan putusan dan pertimbangan hukum setiap putusan. MK mengalami kemajuan signifikan dalam hal disiplin tidak melakukan ultra petita (memutus melebihi permohonan yang dimohonkan) dan ultra vires (memutus dengan melampaui kewenangannya hingga membentuk norma baru).

Pada periode riset ini, tidak ditemukan Putusan ultra petita tetapi  masih ditemukan praktik ultra vires, MK membentuk  4 norma baru pada 2 putusannya, yaitu (a) perluasan lingkup perjanjian internasional harus dibuat dengan UU, (b) perluasan bukti identitas Keterangan perekaman KTP el sebagai dasar memilih dalam Pemilu, (c) perluasan waktu bagi penambahan Daftar Pemilih Tambahan, dan (d) perpanjangan waktu penghitungan suara.

Dalam periode riset ini, SETARA Institute menemukan 3 putusan yang menggambarkan inkonsistensi Mahkamah Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas suatu norma undang-undang, yaitu pada isu (a) batas usia perkawinan bagi perempuan, (b) penghitungan cepat hasil Pemilu, dan (c) pengumuman hasil survei di masa tenang.

Dalam periode riset ini, putusan perkara PUU mengalami keseragaman dalam pendapat dari 9 Hakim Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas UU. Hanya terdapat 1 putusan dengan 1 Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) dan 1 Hakim Konstitusi yang memberikan alasan berbeda (concurring opinion).

Dalam periode riset ini ditemukan kebijakan hukum terbuka dalam 9 Putusan MK. Karena berupa kebijakan hukum terbuka, maka MK menilai tidak bisa diuji konstitusionalitasnya, kecuali pada 1 putusan  MK menyatakan kabul, yakni Putusan 22/PUU-XV/2017 tentang batas usia perkawinan bagi perempuan dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan.

SETARA Institute menemukan 9 putusan yang merupakan peristiwa kongkret (implementasi norma) yang diajukan ke MK. Atas jenis perkara yang demikian, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Tolak.

Dalam penelitian ini, landmark decisions diartikan sebagai putusan yang membawa terobosan signifikan dalam pemajuan HAM dan penguatan rule of law. Pada periode riset ini, hanya dua putusan yang memenuhi kualifikasi landmark decision, yaitu (a) Harmonisasi Batas Usia Minimal Perkawinan bagi Laki-Laki dan Perempuan dan (b) Perpanjangan Waktu Penghitungan Suara Pemilu,

Pengakomodiran Surat Keterangan Perekaman KTP-el sebagai Identitas dalam Pemilu, serta Diakuinya Kasus Tertentu Dalam Hal Dapat Diterimanya Pemindahan Tempat Memilih.

Manajemen Perkara Peradilan Konstitusi
MK mengalami kemajuan dalam menyelenggarakan disiplin peradilan Konstitusi dan mendukung praktik peradilaan yang transparan dan akuntabel.

Indikator kemajuan ini adalah pengetatan praktik prosedur dismissal dan pengaturan waktu beracara yang menutup ruang negosiasi perkara sebagaimana terjadi di masa sebelumnya.

Pengaturan waktu beracara juga mendukung percepatan keadilan dan kepastian hukum.

Sebanyak 9 dari 31 Putusan Tidak Dapat Diterima a quo masih diselesaikan dalam persidangan lebih dari 3 kali persidangan termasuk membicarakan pokok perkara permohonan.

SETARA Institute, mencatat praktik baik dan disiplin dari kerja MK yang memutus 22 Putusan Tidak Dapat Diterima lainnya dalam 3 kali persidangan saja, yaitu Sidang “Pemeriksaan Pendahuluan,” “Sidang Perbaikan Permohonan,” dan “Pengucapan Putusan.” Namun untuk tertib administrasi perkara konstitusi, prosedure dismissal tetap perlu dijalankan lebih disiplin dan untuk menjamin kepastian hukum perlu dimuat dalam Hukum Acara MK.

Pada periode riset ini, SETARA Institute menemukan bahwa MK menyelesaikan PUU kurang dari 1 bulan dalam 4 putusannya, menyelesaikan 1-3 bulan untuk 34 putusan, 3-6 bulan untuk 25 putusan, 9-12 bulan untuk 9 putusan, 1 tahun-15 bulan untuk 1 putusan, dan lebih dari 15 bulan untuk 2 Putusan PUU.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *