Anak, Kelompok Rentan Terpapar Ideologi Radikal

JakartaDetakpos-Dewasa ini radikalisme masih menjadi masalah serius. Anak merupakan kelompok paling rentan terpapar ideologi radikal.

Bahkan dalam banyak kasus anak dilibatkan sebagai pelaku infiltrasi radikalisme pada teman sebaya, bahkan sebagai pelaku tindakan terorisme.

Anak korban jaringan terorisme yaitu anak yang menjadi korban tindak pidana terorisme, anak pelaku, dan anak yang orang tuanya pelaku tindak pidana terorisme

Menurut catatan Komisi Perlindingan Anak Indonesia (KPAI), anak umur 16 tahun melakukan penyerangan seorang pastur di gereja Santo Yosef Medan pada Agustus 2016 .

Kemudian, seorang anak juga berusiia 16 tahun di Sukabumi, diketahui menjadi perakit bom asap dan sudah mengalami proses radikalisasi.

Tindak pidana terorisme di tiga gereja di kota Surabaya pada tanggal 13-14 Mei 2018, melibatkan empat pelaku anak meninggal, dan tujuh anak korban jaringan terorisme saat ini berada di PSMP Handayani

Sepanjang 2016-2018, sebanyak 112 deportan anak dipulangkan dari Turki, Malaysia, Hongkong, dan Jepang direhabilitasi di PSMP Handayani, Kemensos.

Untuk menyikapi hal tersebut, KPAI, Komnas HAM dan Komnas Perempuan telah menyelenggarakan sidang dengan tema: Intoleransi, Radikalisme dan Ekstrimisnya dengan Kekerasan, berlangsung sejak 21 – 22 November 2018. Sebagai tindaklanjut dari kegiatan, Ketua KPAI Susanto merekomendasikan
Pemerintah Pusat dan pemda perlu memastikan pemenuhan hak anak korban dari orang tua pelaku tindak pidana terorisme dan keluarga sebagai upaya pencegahan keterlibatan lebih lanjut, serta mengupayakan rehabilitasi dan integrasi agar anak napiter tidak mengalami stigmatisasi dari masyarakat dan temannya.

Selanjutnya, Pemda wajib menyelenggarakan dan menganggarkan secara khusus terkait program pencegahan, penanganan, rehabilitasi, reintegrasi dan deradikalisasi.

“Mewajibkan Pemda memiliki program intervensi penanganan anak korban tindak pidana terorisme dan anak korban jaringan terorisme,”kata Susanto,  Jumat (23/11).

Pemda perlu membuat program khusus untuk perlindungan anak dari paham radikalisme secara berkala dan berkelanjutan melalui sekolah formal dan non formal.

Dikatakan, pesantren dan sekolah model penting dikuatkan untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.

“Rehabilitasi anak korban jaringan terorisme harus melalui pendekatan holistik, kerja sama lintas sektor, serta pendampingan dari pekerja sosial spesialis dan CSO.

Khusus untuk LPKA, BNPT harus melakukan koordinasi dengan Dirjen Pemasyarakatan terkait program deradilakisasi dan pembinaan secara khusus diberikan kepada napiter anak.

“Pemerintah melalui dinas terkait di daerah harus melakukan pengawasan dan memastikan proses reintegrasi dan rehabilitasi mantan napiter anak agar tidak melakukan pengulangan tindak pidana,”tutur Susanto.

Juga perlu koordinasi yang lebih optimal baik secara vertical maupun horizontal antar lembaga dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daearah dalam upaya pencegahan, penanganan, rehabilitasi, reintegrasi dan pemberdayaan bagi keluarga yang rentan terlibat radikalisme dan terorisme.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *