Cegah Menguatnya Ekosistem Intoleransi di Dunia Pendidikan

:
Jakarta-detakposcom-_Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menyatakan dunia pendidikan kembali menunjukkan gejala destruktif bagi kebinekaan Indonesia. Seorang siswi berinisial B di SDN Jomin Barat II, Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat menjadi korban perundungan (bullying) yang dilakukan oleh murid, guru dan kepala sekolah. Penyebab utamanya, siswi tersebut berasal dari keluarga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pihak sekolah bahkan memaksa siswi B untuk mengenakan jilbab. Meski sudah mengenakan jilbab secara terpaksa, B tetap mengalami perundungan dari murid, guru dan kepala sekolah. Siswi B bahkan dianiaya hingga keluar darah dari hidungnya.

Orang tua B sudah melaporkan peristiwa ini ke Dinas Pendidikan setempat dan ke Kemendikbudristek. Namun perundungan terhadap B makin menjadi. Situasi negatif tersebut membuat keluarga memutuskan untuk mengeluarkan siswi B dari SDN tersebut dan pulang ke kampung halaman mereka. Hal ini juga membuat ayah B mesti keluar dari pekerjaannya di Cengkareng dan mencari pekerjaan lain di tempat asal.

Pertama, SETARA Institute mengutuk keras terjadinya perundungan dan tindakan-tindakan destruktif baik secara fisik maupun psikis yang menimpa siswi B karena keyakinannya. Konstitusi kita, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, terutama pada Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2).

Kedua, SETARA Institute mendorong Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) untuk mengambil tindakan yang memadai untuk menangani kasus ini dengan pendekatan yang memberikan yang memberikan efek jera, sesuai dengan kewenangan Mendikbudristek dan jajarannya di tingkat pusat. Ketiadaan penghukuman yang meberikan efek jera akan mengundang kejahatan lain. _Impunitas sempre ad deteriora invitat._

Mendikbudristek mesti mengakselerasi kebijakan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk dalam bentuk intoleransi dan diskriminasi terhadap peserta didik dengan identitas keagamaan dari kelompok minoritas. Menteri juga harus mengambil langkah-langkah terukur untuk mencegah menguatnya ekosistem intoleransi di lembaga-lembaga pendidikan.

Menguatnta ekosistem intoleransi tergambar dari hasil survei terbaru SETARA Institute (2023) di tingkat SMA sederajat. Data survei menunjukkan, terjadi peningkatan kategori siswa pada kelompok intoleran aktif dibandingkan survei sebelumnya, dari 2,4% di tahun 2016 menjadi 5% di tahun 2023. Terkait dengan penggunaan jilbab, 61,1% menyatakan lebih nyaman jika semua siswi di sekolah menggunakan jilbab. Sementara 25,6% dari mereka menyatakan bahwa agama/keyakinan yang berbeda dengan mereka adalah sesat.

Ketiga, SETARA Institute mendesak Gubernur Jawa Barat untuk mengambil tindakan progresif dalam rangka menangani intoleransi yang meluas di Jawa Barat, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan hingga tingkat menengah pertama berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah Provinsi tidak boleh lepas tangan sama sekali, apalagi terkait dengan hak-hak peserta didik dari kelompok minoritas yang menuntut tindakan aktif dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban _(duty bearer)_. []

  1. Editor: AAdib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *