Di Hadapan Kader KAMMI, Ketua MPR Soroti Lemahnya Toleransi

JakartaDetakpos.com Ketua MPR RI Bambang Soesatyom menjabarkan melemahnya rasa toleransi dalam keberagaman dapat dirujuk pada data SETARA Institut yang mencatat terjadinya 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dalam kurun waktu tahun 2014 hingga 2019.

Hal itu disampaikan Bamsoet saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kepada Kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) secara virtual dari Jakarta, Minggu (4/10/20).

Artinya, rata-rata setiap satu bulan terjadi 14 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Contoh lain adalah penyalahgunaan politik identitas dalam kontestasi politik, sehingga menyebabkan polarisasi masyarakat pada dua kutub yang berseberangan, baik sebelum, selama, hingga pasca penyelenggaraan Pemilu.

“Sementara demoralisasi generasi muda bangsa merupakan salah satu tantangan yang perlu mendapatkan prioritas penanganan. Sebagai gambaran, menurut laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020, dari 3.602 pelaku kekerasan seksual pada ranah komunitas 2.257 (atau sebesar 62,7 persen) diantaranya dilakukan oleh kelompok usia 19 sampai dengan 40 tahun. Kelompok usia ini juga mendominasi angka pelaku kekerasan seksual pada ranah privat atau rumah tangga, yaitu sebanyak 6.791 orang dari total 11.105 pelaku, atau sekitar 61,2 persen,” urai Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, contoh lain, berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) yang dirilis Juni 2019, terdapat 2,3 juta pelajar dan mahasiswa yang pernah mengonsumsi narkotika. Mengingat generasi muda pada rentang usia 15 – 35 tahun adalah kelompok usia yang paling rawan terpapar penyalahgunaan narkoba, kemungkinan jumlahnya saat ini telah melebihi angka 2,3 juta.

“Memudarnya identitas dan karakteristik bangsa telah menjadi fenomena seiring laju perkembangan dan dinamika zaman. Identitas nasional sebagai manifestasi nilai-nilai luhur budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kebangsaan seakan mulai tergerus oleh budaya asing yang masuk melalui derasnya arus globalisasi. Gaya hidup hedonis, individualis, egois, dan pragmatis, mulai menggeser nilai budaya dan kearifan lokal kita,” tandas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menjelaskan, pada beberapa kasus, terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal telah mengusik nurani. Misalnya ketika menyaksikan kasus seorang anak tega memenjarakan orangtua kandungnya karena persoalan harta. Atau, seorang nenek miskin mesti berhadapan dengan polisi ketika mencuri tiga buah pepaya untuk mengisi perut kosongnya.

“Masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi dapat kita rujuk dari angka ketimpangan distribusi pendapatan atau dikenal dengan rasio gini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Maret 2020, rasio gini berada di angka 0,381, atau meningkat 0,001 poin jika dibandingkan September 2019 sebesar 0,380. Berdasarkan RPJMN 2015-2019, target rasio gini sebesar 0,36, sehingga pencapaian saat ini masih tertinggal selisih 0,02 poin. Gambaran nyata mengenai kesenjangan sosial ekonomi juga terlihat dari laporan Global Wealth Report 2018 yang mencatat bahwa 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3 persen dari total kekayaan penduduk Indonesia,” jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menuturkan, tantangan selanjutnya berupa ancaman kedaulatan negara di tengah cengkeraman hegemoni ekonomi-politik dunia. Harus disadari bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia adalah negara yang kaya potensi sumber daya laut. Merujuk data badan pangan dunia (Food and Agricultural Organization/FAO), potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 12,54 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

“Letak geografis Indonesia pun pada posisi strategis di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia), dimana lebih dari 80 persen perdagangan dunia dilaksanakan melalui laut, dan 40 persen di antaranya melalui perairan Indonesia. Dengan kekayaan alam yang melimpah dan posisi geografis yang strategis tersebut, menempatkan kita sebagai ‘center of gravity’ dan sekaligus menjadikan kita dalam posisi rapuh terhadap pengaruh dan infiltrasi asing,” tutur Bamsoet.

Wakil Ketua Umum SOKSI ini menekankan, kondisi tersebut tidak hanya disikapi dengan memperkuat kekuatan militer dan persenjataan, atau membangun benteng-benteng pertahanan fisik yang memagari wilayah Nusantara. Melainkan juga dengan membangun benteng ideologi. Setiap warga negara yang tinggal di setiap wilayah Nusantara harus merasa menjadi bagian dari NKRI. Pemerataan dan distribusi kesejahteraan harus menjadi prioritas pembangunan berkelanjutan.

“Paradigma dalam memandang wilayah perbatasan harus diubah, bukan lagi sebagai wilayah ‘terluar’, tetapi wilayah ‘terdepan’. Semangat nasionalisme tidak hanya dibangun melalui slogan, melainkan diimplementasikan dalam tindakan nyata,” pungkas Bamsoet. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *