NU Dukung Piagam Persaudaraan Kemanusiaan Abu Dhabi

BanjarDetakpos-Beberapa waktu lalu terjadi peristiwa penting, penandatangan Piagam Persaudaraan
Kemanusiaan (Watsiqat al-Ikhwah al-Insaniyah) yang dilakukan oleh As-Syekh al-Akbar
Jami’ah al-Azhar As-Syekh Ahmad Al-Thayyib dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi (4/2/2019).

Deklarasi itu mengemban otoritas yang kokoh di hadapan para pemeluk agama dan bisa
sebagai perwujudan dari kesepakatan umat beragama untuk menghentikan
permusuhan antar-agama dan membatalkan semua pembenaran konflik atas nama agama di mana saja.

Sebagai organisasi yang terus menerus menyuarakan pentingnya moderatisme beragama,
perdamaian dan kemanusiaan, NU menyambut gembira penandatanganan Piagam tersebut.

Demikian salah satu rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan
Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019
di Pondok Pesantren Miftahul Huda al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar Jawa Barat
Rabu-Jum’at, 27 Februari – 1 Maret 2019, Dalam acara penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo Kujangsari, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3), yang diserahkan Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj pada Wapres Jusuf Kalla.

Piagam tersebut merupakan kelanjutan dan didasarkan atas dokumen-dokumen
internasional yang ada sebelumnya itu, menegaskan pandangan yang telah
diangkat dalam berbagai deklarasi dan dokumen internasional yang dilahirkan di
lingkungan Nahdlatul Ulama, terutama sejak awal 1980-an hingga 2018.

NU sangat berterima kasih dan berbesar hati bahwa gagasan yang dikembangkan
telah memberi sumbangan berarti pada upaya perdamaian dunia hingga lahirnya
Piagam Persaudaraan Kemanusiaan di Abu Dhabi tersebut.

NU menegaskan
dukungan sepenuhnya terhadap Piagam Persaudaraan Kemanusiaan dan tekad untuk
bergabung bersama al-Azhar dan Vatikan dalam perjuangan bersama mewujudkan visi mulia
dari piagam tersebut.

Hal ini merupakan bagian dari tekad yang telah dinyatakan dalam
Deklarasi NU dalam berbagai kesempatan.

Bertumpu pada sikap yang telah dinyatakan dalam Dekalarasi NU pada International Summit
of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) di Jakarta, 10 Mei 2016 (nuktah nomor 8), secara
khusus NU menggaris bawahi pandangan Piagam Persaudaraan Kemanusiaan Abu Dhabi bahwa pola pikir umat Islam yang mengandung pandangan-pandangan yang mendorong
konflik dengan dinisbatkan kepada model-model interpretasi tertentu atas ajaran Islam perlu
ditransformasikan untuk menggalang energi dunia Islam dalam upaya membangun perdamaian
dunia, termasuk dengan merekontekstualisasikan sejumlah pandangan keagamaan agar lebih
relevan dengan realitas masa kini.

Kini, kita menghadapi realitas peradaban yang berubah secara fundamental. Perubahan-
perubahan mendasar pada format peradaban telah terjadi yang ditandai dengan beberapa
fenomena perubahan besar, antara lain: pertama, perubahan tatanan politik internasional,
antara lain ditandai dengan perubahan identitas negara atau kerajaan yang awalnya
menyandang identitas agama.

Sekarang, sebagian besar negara-negara yang ada telah
melepaskan identitas agama dan mengganti dengan identitas nasional.

Kedua, perubahan demografi, yang antara lain disebabkan perubahan identitas negara.

Pada
masa lalu, karena setiap negara atau kerajaan menggunakan identitas agama, maka status
kewarganegaraan didasarkan pula atas identitas agama dari penduduknya, dan supremasi
agama penguasa dijadikan landasan penilaian.

Penduduk yang memeluk agama yang berbeda
dari agama negara cenderung dipersekusi atau sekurang-kurangnya diberi status sebagai
warga kelas dua.

Pada masa kini, dengan lepasnya identitas agama, maka negara
mentolerir keragaman identitas agama di antara warganya.

Demikian juga dengan arus
migrasi yang mengikuti aspirasi dan kontak-kontak ekonomi mendorong pergerakan manusia
melintasi batas-batas negara, sehingga, pada masa kini, kita mendapati potret demografis
yang sangat heterogen di berbagai kawasan, termasuk tumbuhnya komunitas Muslim dalam
jumlah yang signifikan di kawasan-kawasan yang pada masa lalu hanya memiliki penduduk
non-Muslim saja, seperti di Eropa, Amerika, dan kawasan-kawasan lainnya.

Ketiga, perubahan standar norma-norma. Hal ini misalnya bisa dilihat dari praktik
mengabaikan sebagian hak-hak kemanusiaan yang pada masa lalu ditolerir, seperti
perbudakan, penjajahan antar bangsa, persekusi dan diskriminasi atas minoritas, kini secara
umum dipandang sebagai kejahatan menurut standar norma-norma keadaban yang diakui
dunia internasional.

Keempat, adanya globalisasi yang didorong oleh interaksi-interaksi ekonomi dan
perkembangan teknologi telah menjadikan batas-batas fisik, yaitu batas-batas geografis,
maupun batas-batas politik antar-bangsa semakin kurang relevan dalam dinamika sosial.

Perkembangan teknologi juga telah secara dramatis menjembatani jarak fisik, sehingga setiap
peristiwa yang terjadi di manapun berpotensi memicu rangkaian konsekuensi-konsekuensi
global.

Revolusi industri 4,0 telah mempercepat perubahan globalisasi dan membawa
implikasi besar bagi tata dunia.
Untuk mengantisipasi perubahan-perubahan fundamental tersebut, dalam
MusyawarahNasional 1981 di Kaliurang, NUmembuat karya bersejarah dengan meletakkan
kerangka keagamaan yang otoritatif bagi kesejajaran nilai antara ukhuwwah Islamiyyah
(persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah wathoniyyah (persaudaraan sesama warga
Bangsa) dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama umat manusia).

Dalam Muktamar
ke-27 tahun 1984 NU juga menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk final upaya umat
Islam Indonesia mengenai negara. Dengan kata lain, NU memberikan legitimasi keagamaan
yang otoritatif bagi keberadaan negara-bangsa moderen berikut sistem hukum yang
dihasilkan dalam sistem politiknya.

Pada Muktamar ke-32 di Makassar, 2010, NU menegaskan perjuangan demi perdamaian
dunia sebagai bagian dari sikap keagamaannya. Dengan itu berarti bahwa terhadap konflik-
konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk yang melibatkan kelompok-
kelompok dari kalangan umat Islam, baik konflik di antara umat Islam sendiri maupun berhadapan dengan kelompok dari kalangan non-Muslim, kewajiban agama menuntut
diperjuangkannya resolusi konflik dan perdamaian, bukan melibatkan diri dalam konflik.

Piagam Persaudaraan Kemanusiaan Abu Dhabi adalah tonggak bersejarah yang dapat
menyelamatkan dunia dari ancaman konflik semesta, baik antar-agama maupun intern-
agama.

Pandangan-pandangan yang tertuang dalam deklarasi tersebut mengenai peniadaan
permusuhan antar-agama, kewargaan penuh dan kesetaraan di hadapan hukum terlepas dari
perbedaan latar belakang identitas agama maupun identitas primordial lainnya, serta visi
memperjuangkan perdamaian, menegakkan keadilan dan membela kaum yang lemah, adalah
wawasan-wawasan yang selama ini menjadi orientasi keberagamaan NU.

Atas dasar itu, NU
akan terus berkomitmen untuk menjaga moderatisme beragama, perdamaian dan
kemanusiaan.

Dalam skala nasional, pada 17 April 2019, bangsa Indonesia mempunyai
hajatan besar Pemilihan Umum. Pemilu tahun ini merupakan pengalaman pertama di mana
dilakukan Pemilu serentak, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; DPR, DPD, DPRD I dan
DPRD II.

Pemilu bukan saja momentum sirkulasi elite untuk pemilihan pemimpin yang akan
mengelola negara RI lima tahun ke depan, tapi juga sebagai penanda peradaban Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia akan menjadi rujukan
internasional apabila mampu melewati saat-saat krusial –termasuk momentum Pemilu—dengan
aman dan damai.

NU, umat Islam dan seluruh warga negara Indonesia perlu memanfaatkan
momentum ini dengan memilih putra-putri terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa. Umat
Islam—terutama warga NU–mempunyai tanggung jawab besar untuk memastikan bangsa ini
berjalan dalam rel yang benar dan konsensus nasional tetap terjaga.

Menjaga negara bukan hanya wujud kecintaan pada negeri, tapi juga tanggung jawab untuk
memastikan warisan ulama-ulama kita berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap
tegak.

Negara Republik Indonesia yang kita nikmati sekarang ini adalah hasil perjuangan yang
sangat Panjang dari para pendahulu, termasuk ulama-ulama di nusantara.

Ulama-ulama
nusantara telah memberi warisan teladan dan nilai-nilai penting yang menjadi pondasi
kebangsaan kita. Pertama, teladan penyebaran Islam yang dilakukan dengan penuh
perdamaian, tanpa pertumpahan darah.

Islamisasi yang terjadi di nusantara tidak dilakukan
dengan semangat permusuhan dan kemarahan, tapi dilakukan dengan semangat bil hikmah
wal mau’idhatil hasanah. Inilah yang menjadikan Islam benar-benar berakar kuat dan dipeluk
oleh lebih dari 87 persen masyarakat Indonesia.

Kedua, karakter masyarakat yang tawasuth
(moderat), tawazun (berimbang) dan tasamuh (toleran). Karakter ini dibentuk melalui proses
yang sangat panjang melalui proses Islamisasi yang damai.
Ketiga, keberhasilan para ulama untuk mendamaikan antara Islam dan kebangsaan dengan
mewariskan Pancasila sebagai dasar negara RI. Warisan ini melampangkan bagi kita untuk
menjadikan umat yang religius dan nasionalis.

Keempat, adanya organisasi massa Islam yang
berkarakter moderat dan bisa menjadi negara di satu sisi, dan penjaga moderatisme Islam di
sisi yang lain.

NU merupakan salah satu warisan luhur yang sudah terbukti setia pada negeri
tanpa syarat.

Kelima, peleburan identitas Islam dan budaya. Islam dan budaya tidak dipertentangkan tapi saling menguatkan.(*)

Sumber: Humas Munas/Kombes NU

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *