Pemerintah Dituding Halalkan Segala Cara Pertahankan UU Cipta Kerja

JakartaDetakpos.com-DPR dalam Rapat Paripurna ke-23 (Selasa, 24 Mei 2022) telah menyepakati pengesahan RUU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3). Tujuan dari revisi UU P3 ini secara jelas disebutkan oleh Kepala Baleg DPR RI, Inosentius Samsul, sebagai pintu masuk untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja.

Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute
menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang telah mengalami fallacy atau kesalahan berpikir dalam memahami konteks dan makna di balik penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja selama ini.

Pokok permasalahannya adalah ada pada substansi UU Cipta Kerja, yang secara nyata telah menggerus hak-hak buruh dan mengabaikan isu lingkungan. Alih-alih melakukan pemulihan terhadap hak-hak konstitusional akibat substansi pasal yang terlalu favoritisme terhadap investasi.

“Pemerintah justru menghalalkan segala cara untuk tetap mempertahankan UU Ciptaker, termasuk merevisi UU P3 dengan memasukkan metode omnibus law sebagai penghalalan atas UU Ciptaker yang mengadopsi metode omnibus law,”tutur dia Jakarta, kemarin.

Dikatakan, sekalipun metode omnibus law bukanlah hal yang asing dalam proses legislasi, namun pemerintah seharusnya mempertimbangkan kelemahan-kelemahan dari metode ini. Proses pembahasan yang dipaksakan dalam waktu singkat namun mencakup begitu banyak kluster sangat berpotensi tidak terwujudnya demokrasi deliberatif.

“Refleksi ini sudah dibuktikan dengan proses penyusunan UU Ciptaker yang dalam fakta persidangan Putusan MK No. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menyebutkan proses penyusunan UU Ciptaker tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal,”tambah Sayyidatul Insiyah.

Menurutnya, tidak hanya terhadap asas keterbukaan, metode omnibus law juga sangat berpotensi pada adanya pengabaian terhadap asas kejelasan rumusan.

Lagi-lagi, pembentukan UU Cipta Kerja menjadi bukti betapa pemerintah dan DPR sangat tidak teliti dalam merumuskan norma-norma di dalamnya. Banyak pasal yang mengandung multi-interpretatif hanya karena ketidakjelasan rumusan normatifnya.

“Menjadi logis, sebab dengan 79 UU dengan 1.209 pasal hanya dibahas dalam waktu 6 bulan untuk akhirnya disatuatapkan dalam sebuah undang-undang bernama UU Cipta Kerja,”papar Sayyidatul Insiyah.

Dengan berefleksi pada dampak-dampak negatif metode omnibus law pada proses penyusunan UU Ciptaker, SETARA Institute mendesak DPR dan pemerintah untuk mempertimbangkan dan meninjau ulang pengadopsian metode omnibus law dalam Revisi UU PP3.

” Perjalanan legislasi selama ini setidaknya telah menunjukkan betapa pembentuk undang-undang masih belum optimal dalam menelurkan produk legislasi yang baik. Mulai dari UU KPK, UU Minerba, UU MK, hingga UU Cipta Kerja setidaknya menjadi catatan betapa pemerintah tetap kekeh meloloskan undang-undang di tengah kontroversial penolakan masyarakat.”

“SETARA mengajak seluruh komponen masyarakat untuk terus bersama-sama mengawal jalannya revisi UU Ciptaker. Jauh lebih penting dari sekedar formalitas pembentukannya, UU ini harus benar-benar memberikan keadilan yang substantif bagi seluruh unsur masyarakat dan akomodatif terhadap seluruh kepentingan.

“Jangan sampai produk legislasi yang terlalu pro-invetasi ini justru menjadi cilaka bagi masyarakat,”pungkas Sayyidatul Insiyah.(d/2).

Editor: AAdib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *