Perilaku Merokok Penerima Bansos Kurangi Efektivitas

Jakarta-Detakpos– Pemerintah berkomitmen mendistribusikan bantuan sosial kepada 40% pendapatan terbawah yang masuk dalam kategori miskin, hampir miskin, dan rentan miskin.

Pemerintah juga sudah mengatakan kepada publik agar tidak membelanjakan bantuan sosial untuk hal-hal yang tidak perlu termasuk rokok.

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) bekerja sama dengan Komnas Pengendalian Tembakau meluncurkan hasil penelitian yang membuktikan bahwa penerima bantuan sosial (bansos) yang merokok akan memiliki indikator sosial ekonomi lebih rendah dibandingkan penerima bansos non-perokok.

Studi ini menunjukkan perilaku merokok di kalangan pendapatan rendah mengakibatkan kelompok ini mengurangi pengeluaran penting seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan yang seharusnya bermanfaat untuk investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Perilaku merokok dari penerima bansos mengurangi efektivitas program bantuan sosial untuk mencapai target dari program tersebut.

Studi PKJS-UI menduga ada keterkaitan antara peningkatan konsumsi rokok dengan pendapatan terbawah dengan berbagai program bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah.

Program bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah antara lain Beras Sejahtera (Rastra), Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan kebijakan lainnya.

Keluarga penerima bantuan sosial dan merokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak dan karbohidrat yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial tetapi tidak merokok.

Keluarga penerima bantuan sosial dan merokok memiliki anak (usia di bawah 15 tahun) dengan capaian pendidikan yang jauh lebih rendah dan memiliki anak putus sekolah yang lebih tinggi dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial tetapi tidak merokok.

Keluarga penerima bantuan sosial dan merokok memiliki anak usia di bawah 15 tahun yang sering sakit dibandingkan dengan keluarga penerima bantuan sosial yang bukan perokok.

Penerima PKH memiliki konsumsi 3,5 batang/kapita per minggu lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan penerima PKH, sedangan keluarga penerima Beras Sejahtera (Rastra) mengkonsumsi 4,5 batang rokok/kapita/minggu dibandingkan dengan keluarga bukan penerima Rastra.

Manajer Program Pengendalian Tembakau dan Peneliti PKJS-UI, Dr. Renny Nurhasana mengatakan temuan studi ini diharapkan dapat menjadi acuan para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan pentingnya pengendalian konsumsi rokok pada masyarakat terutama kalangan miskin dan rentan.

“Efektivitas dari bantuan sosial dalam pencapaian sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan akan semakin berkurang jika penerima bantuan tidak mengalokasikan uang tersebut untuk membeli kebutuhan utama keluarga”, katanya, kemarin. .

Menurut Renny, pemerintah sebaiknya bergerak cepat dalam mengendalikan konsumsi rokok karena prevalensi perokok anak, perokok remaja, dan temuan perilaku merokok pada kalangan bawah sangat memprihatinkan.

Salah satu instrumen yang bisa dipakai adalah memahalkan rokok melalui kenaikan cukai rokok yang signifikan.

Ketua Peneliti, Teguh Dartanto, Ph.D menekankan dengan adanya bukti empiris ini, maka disarankan perbaikan dari desain dan persyaratan penerima bantuan sosial.

“Perlu mekanisme pemberian insentif dan disinsentif atas perilaku merokok, terutama penerima bantuan sosial terkait generasi muda seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH),” ujarnya.

Hasil penelitian ini dapat menjadi pembelajaran yang bagus untuk pemerintah,.

“Harus dipikirkan efektivitas pemberian bantuan sosial demi peningkatan kualitas manusia, jangan sampai justru dimanfaatkan untuk beli rokok sehingga mengancam balik peningkatan kualitas SDM,“ jelas Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Dr. dr. Prijo Sidipratomo.
(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *