Jakarta–Detakpos– Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) terhadap sejumlah tenaga ahli stunting di Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK), dipertanyakan.
Pasalnya, PHK tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan situasi Indonesia saat ini yang tengah dirundung pandemi Covid-19.
“Setwapres dinilai tidak mengindahkan apa yang tertera di Undang-Undang Ketenagakerjaan,” ungkap Kuasa Hukum Tenaga Ahli, Muhammad Ridho SH dalam rilisnya, Sabtu (4/4).
Ridho mengatakan, apalagi cara Setwapres memecat para tenaga ahli tanpa didahului surat peringatan pertama, kedua, maupun ketiga. Para Tenaga Ahli oleh PT LPPSLH atas perintah Setwapres dipanggil dan diminta mengundurkan diri, namun permintaan tersebut ditolak hingga keluarlah surat pemecatan.
Padahal, lanjut Ridho, dalam UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003 tertera sangat jelas bahwa pemutusan hubungan kerja, dilakukan setelah pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
Apalagi, tambah Ridho, para tenaga ahli tersebut dalam kontrak kerja tertulis sebagai tenaga kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dan, dalam UU Ketenagakerjaan juga mengisyaratkan bahwa mereka harus bekerja sampai dengan selesai kontrak. Para tenaga ahli tersebut dikontrak sejak Juni 2019 dan baru akan berakhir pada Desember 2021.
“Nah, dalam ketentuan tersebut juga jelas, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja,” ujarnya.
Sebelumnya, Plt Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Abdul Muis dalam siaran persnya mengatakan bahwa pemecatan terhadap para tenaga ahli tersebut akibat hasil evaluasi kinerja yang dianggap kurang memuaskan.
Muis menyebutkan bahwa para Tenaga Ahli tersebut bukanlah Aparatur Sipil Negara (ASN), namun sengaja direkrut untuk melaksanakan program hibah yang diterima Pemerintah Indonesia untuk penyelenggaraan program percepatan pencegahan stunting.
“Salah satu target kinerja yang dipersyaratkan adalah kemampuan tenaga ahli untuk menyusun konsep program yang menjadi tanggung jawabnya,” tulis Muis.
Menanggapi itu, Ridho mengungkapkan, patokan mereka hanyalah Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perihal, evaluasi kinerja, menurut dia merupakan konsekuensi logis dalam sebuah pekerjaan.
“Kami tidak mempersoalkan tentang evaluasi kinerja meskipun saat diminta lebih jauh Setwapres tidak mampu menunjukan pedoman evaluasi kinerja yang dimaksud. Rule of game dalam bekerja juga tidak jelas. Yang kami persoalkan adalah etika dalam proses PHK tersebut. Inilah yang diduga dilanggar Setwapres,” ujarnya.
“Betul mereka bukan ASN, tapi apakah karena mereka bukan ASN lantas mereka bisa diperlakukan seperti itu? Setwapres ini adalah lembaga negara, pemerintah. Sudah pasti ini menjadi preseden buruk bagi dunia ketenagakerjaan Indonesia,” tambah Ridho.
Pihaknya, lanjut Ridho tetap akan menuntut keadilan atas kasus PHK sepihak yang dilakukan Setwapres ini. (d/2).
Editor: A Adib