Jakarta–detakposcom-Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 mengizinkan pengusaha berorientasi ekspor melakukan pemotongan upah buruh sebanyak 25 persen.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan/Kemenaker seharusnya sebelum menetapkan peraturan tersebut sudah mempertimbangkan faktor yuridis, sosiologis, dan filosofis.
“Agar tidak menimbulkan konflik. Selain itu, mendorong Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/KSPI untuk melakukan dialog dengan Kemenaker agar membatalkan Permenaker No 5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, khususnya dalam poin yang dikhawatirkan dan diprotes oleh para buruh yaitu terkait pemotongan upah buruh yang bisa mencapai 25 persen.”
MPR menegaskan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan seharusnya mengacu dan mengutamakan kepentingan masyarakat sesuai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dia meminta pemerintah, dalam hal ini Kemenaker, selain mempertimbangkan dampak perubahan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan pasar, khususnya pada industri padat karya tertentu yang berorientasi ekspor, juga mempertimbangkan kondisi buruh yang baru saja bangkit dari keterpurukan imbas pandemi covid-19 kemarin, dikarenakan regulasi tersebut bisa makin memberatkan kaum buruh mengingat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, dan bangkit kembali.
Bamsoet menyampaikan bahwa kebijakan untuk menaikkan ekspor dengan memotong upah buruh bukan solusi yang bijak dan relevan, sehingga MPR meminta pemerintah membatalkan kebijakan tersebut dan mengganti dengan kebijakan dan regulasi lain yang memiliki keberpihakan yang imbang, baik kepada pengusaha maupun buruh, dengan tetap memastikan perusahaan tetap menjalankan operasionalnya secara seimbang.
Meminta pemerintah, dalam hal ini Kemenaker tidak hanya berpihak pada satu sisi saja, yaitu perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor, namun juga harus memihak pada kesejahteraan dan perekonomian buruh, dikarenakan pemotongan upah tersebut hanya akan mengakibatkan turunnya daya beli atau purchasing power para buruh/pekerja, dan justru berpotensi memperbesar kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja/PHK yang lebih masif.
“MPR meminta pemerintah melakukan upaya pendekatan yang tepat kepada buruh dan mengutamakan penentuan kebijakan yang berbasis pada keadilan,”tuturnya Senin (20/3/2024).(d/2).
Editor: AAdib