Revolusi 4.0, Santri Perlu Adaptasi dan Jaga Nilai

JakartaDetakposDi tengah revolusi gelombang keempat (4.0), santri harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yang baik.

“Santri tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yang berakhlakul karimah, yang hormat kepada kiai dan menjanjung tinggi ajaran para leluhur, terutama metode dakwah dan pemberdayaan Walisongo.

Santri disatukan dalam asâsiyât (dasar dan prinsip perjuangan), khalfiyat (background sejarah), dan ghâyat (tujuan). Demikian amanat Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj memperingati Hari Santri Nasional (HSN), 22 Oktober 2019.

“Dasar perjuangan santri adalah memperjuangkan tegak lestarinya ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah, yaitu Islam bermadzhab,”jelas Kiai Said

Di tengah kampanye Islam anti-madzhab yang menggemakan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, santri dituntut untuk cerdas mengembangkan argumen Islam moderat yang relevan, kontekstual, membumi, dan kompatibel dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan.

Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya.

“Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam. Budaya dijadikan sebagai infrastruktur agama, sejauh tidak bertentangan dengan syariat,”ungkap Kiai Said.

Termasuk dalam hal ini adalah bentuk negara. Bentuk negara apa pun, asal syari’at Islam dapat dijalankan masyarakat, sah dan mengikat, baik berbentuk republik, mamlakah, maupun emirat.

Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan.

Jati diri santri adalah moralitas dan akhlak pesantren dengan kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual (qiyâdah rūhâniyah).

” Karena itu, meskipun santri telah melanglang buana, menempuh pendidikan hingga ke mancanegara, dia tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai santri yang hormat dan patuh pada kiai.”

Tidak ada kosakata bekas kiai atau bekas santri dalam khazanah pesantren. Santri melekat sebagai stempel seumur hidup, membingkai moral dan akhlak pesantren.

“Di hadapan kiai, santri harus menanggalkan gelar dan titelnya, pangkat dan jabatannya, siap berbaris di belakang kepemimpinan kiai.”

Beberapa figur tokoh nasional yang santri diantaranya adalah Pangeran Diponegoro, tidak hanya dikenal sebagai panglima perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro yang mempunyai nama aseli Abdul Hamid adalah santri tulen yang mondok pertama kali kepada KH. Hasan Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo yakni belajar ngaji kitab Fathul Qorib sampai khatam.

“Selain itu beliau juga ngaji kitab kuning pada KH. Taftazani Kertosono, ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bantul-Jogjakarta, dan terahir ngaji hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.”

Tidak hanya Pangeran Diponegoro, ada juga figur tokoh nasional yang santri yakni Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara alias Suwardi Suryaningrat, beliau belajar ngaji Al- Qur’an kepada Romo K. Sulaiman Zainuddin Kalasan-Prambanan sampai khatam.

‘Dan juga satu lagi figur penting penggubah lagu “Syukur”, yakni Habib Husein Muthahar, Semarang. Jadi, yang mencipta lagu “Syukur” yang kita semua hafal dan nyanyikan adalah seorang Sayyid, cucu bagina Nabi Muhammad SAW.”(d/2).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *