Strategi Sisir Reforma Agraria dari Pinggiran

JakartaDetakpos-Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Besar Marhaenis mengadakan Diskusi Media dengan tema “Pelaksanaan Reforma Agraria Dalam Era Jokowi-JK.” Acara ini merupakan bagian I dari rangkaian diskusi media bulan yang akan diselenggarakan oleh KBM sepanjang 2019.

Revrisond Baswir dalam pengantar diskusi menyitir pernyataan Bung Karno mengenai kaitan antara revolusi Indonesia dengan reforma agraria.

Menurut Revrisond, Bung Karno dengan tegas menyatakan pelaksanaan landreform adalah bagian yang tidak terpisahkan dari revolusi Indonesia.

“Revolusi Indonesia tanpa landreform sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong-besar tanpa isi,” katanya.

Revrisond menambahkan, sikap tegas mengenai arti penting pelaksanaan reforma agraria itu antara lain diwujudkan oleh Bung Karno melalui pelaksanaan landreform tahap pertama pada 1963.

Sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Agraria, pada bulan Desember 1964 dan Januari 1965, pemerintah telah berhasil melakukan proses “redistribusi tanah-tanah lebih” di Jawa, Madura, Lombok, Bali dan Sumbawa seluas 454.966 hektare. Tanah-tanah tersebut dibagikan kepada 568.862 orang petani penggarap.

Namun pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto pada 1966/1967, pelaksanaan reforma agraria cenderung berhenti sama sekali. UU tentang Pokok-pokok Agraria No. 5/1960 yang menjadi landasan hukum pelaksanaan hal tersebut cenderung terpinggirkan.

Sebaliknya, menyusul terbitnya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), perhatian pemerintahan Soeharto lebih banyak tertuju pada melayani kepentingan asing.

Dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun bagi reforma agraria untuk dapat dimulai kembali. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan reforma agraria baru dimulai kembali setelah pemerintahan Jokowi-JK naik ke tampuk pemerintahan pada akhir 2014. Komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap pelaksanaan reforma agraria itu antara lain tertuang dalam Perpres No 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 sebagai tindak lanjut dari Perpres No. 45/2016, maka pada tahun 2017 dan 2018 terbit Perpres No. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Pada tingkat implementasi, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, realisasi program perhutanan sosial pada tahun 2017 adalah seluas 1.917.890,07 hektare, sedangkan realisasi program reforma agraria adalah seluas lima juta he lahan tersertifikasi.hektare
Nara sumber yang hadir dalam Diskusi Media I KBM ini adalah Ir. Suwidi Tono, Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia), Ahmad Rifai (Ketua Umum Serikat Tani Nasional), Susilo Eko Prayitno (Bendum Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia/Pegiat Koperasi Pertanian) yang moderatori Cahyo Gani Saputro (Sekjen Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia).

Ir. Suwidi Tono dalam paparannya menyampaikan bahwa Pemilikan Lahan rata-rata petani (Setelah Reforma Agraria 1970 – 2013) misal di Jepang 4,5 menjadi 16,5 Ha, Korsel 0,8 menjadi 1,0 Ha, Brasil 59,4 menjadi 72,8 Ha, Denmark 11,6 menjadi 22 Ha, Thailand 3,2 Ha, Amerika Serikat 200 Ha (total 5,2 juta petani atau 2 persen populasi) dan di Indonesia 0,9 Ha menjadi 0, 7 Ha  (total 38 juta petani), 55 persen petani rata-rata kepemilikan hanya 0,3 Ha.

Perkembangan Capaian Perhutanan Sosial Per 12 November 2018, adapun realisasinya yaitu 2.173.063.46 Ha, kurang lebih 497.925 KK dan 5.097 Unit SK.

Suwidi Tono menambahkan dalam. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum seluas 2 Ha,
Luas kepemilikan tanah maksimum untuk daerah tidak padat penduduk : 15 Ha (sawah) dan 20 Ha (lahan kering)
Luas kepemilikan maksimum untuk daerah padat penduduk 5 Ha (sawah) dan 6 Ha (lahan kering). Dalam kondisi saat ini

Ketimpangan desa – kota : 13,20 berbanding 7,02 persen (BPS 2018), Subsidi pupuk 65 persen petani miskin (<0,5 Ha) dapat 3 persen 1 persen petani kaya (>2 Ha) dapat 70 persen Saprodi dikuasai pemodal besar (pupuk, pestisida, benih, alsintan dll), Fenomena saat ini merata yang mana menjadi buruh/tukang di atas lahannya sendiri.

Suwidi Tono dalam kesimpulannya menyampaikan pada saat ini adalah pentingnya rule model dan gerakan rakyat dalam melakukan duplikasi rule model yang telah ada dan berhasil.

Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dalam paparannya nya menjelaskan bahwa perjuangan reforma agraria menemukan jalannya kembali di tahun 2018 dengan Deklarasi Hak Asasi Petani yang disahkan oleh Sidang Umum PBB (New York, Amerika Serikat) pada 19 November 2018 dan di undangkannya Peraturan Presiden No. 86 tentang Reforma Agraria pada 24 September 2018(d/5).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *