Tanggul Laut Solusi Palsu Tenggelamnya Jakarta

JakartaDetakpos-Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata mengatakan, pemerintah tidak perlu memaksakan proyek tanggul laut sebagai solusi palsu tenggelamnya Jakarta.

Seperti diketahui, Bappenas menyatakan bahwa amblesan tanah di Jakarta terjadi sekitar 7-10 cm/tahun. Sumber lain bahkan menyatakan amblesan tanah mencapai 10-12 cm/tahun.

Sementara, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2001 dan 2007 memproyeksikan peningkatan permukaan air laut setinggi satu meter pada tahun 2100 dengan tingkat perubahan sekitar 1,7 cm per tahun. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa penurunan muka tanah di Jakarta terjadi lebih signifikan dan cepat (baca: 7-12 cm pertahun) dibandingkan dengan kenaikan permukaan air laut (baca: kurang dari 1 cm pertahun).

Hal ini berarti terdapat faktor lain yang menjadi penentu penurunan muka tanah yang terjadi di Jakarta. Kajian dan penelitian yang telah dilakukan di Jakarta terkait dengan penggunaan air tanah adalah yang mendorong penurunan tanah di Jakarta terjadi dengan cepat (Dircke, 2012; dan Brinkman, 2008).

Selain perubahan iklim, menurut Marthin, persoalan penurunan muka tanah karena disebabkan praktik privatisasi air yang dilakukan pemerintah sehingga memaksa warga Jakarta menggunakan air tanah yang mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah.

Menurur Marthin, sebab utama penurunan muka tanah bisa dihentikan dengan memastikan akses atas air minum dan air bersih dipenuhi oleh Pemerintah serta memberikan sanksi tegas bagi industri dan gedung bertingkat komersial yang masih menggunakan air tanah.

Pemerintah juga dapat mempelajari cara menghentikan penurunan muka tanah dari pengalaman Tokyo dan Bangkok untuk mengatasi persoalan penurunan muka tanah.

“Jepang memiliki pengalaman mengatasi penurunan permukaan tanah lebih dari 4 m di Tokyo. Penurunan tanah sudah tercatat semenjak tahun1920-an dan baru dapat dihentikan sekitar tahun 1970.”

Langkah yang dilakukan Jepang saat itu adalah menerapkan peraturan tentang pengamanan sumber air alternatif untuk industri dan peraturan tentang penyedotan air tanah. Hingga kini penurunan tanah di Kota Tokyo nilainya mendekati nol.

Begitu pula di Kota Bangkok, di mana strategi utama adalah menghentikan penggunaaan air tanah.

Hingga detik ini, Pemerintah tidak memiliki strategi khusus yang memastikan berhentinya penggunaan air tanah.

“Bahkan tetap membiarkan prvatisasi pengelolaan air dan membangkang terhadap Putusan Mahkamah Agung No 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan penghentian privatisasi/swastanisasi air minum,”titur dia, kemarin.

Faktor lain adalah beban pembangunan gedung dalam jumlah besar. Jakarta merupakan kota yang tidak pernah berhenti dalam membangun. Padahal semakin banyak pembangunan juga berakibat lapisan tanah sebagai tumpuan bangunan mengalami pemampatan. Pemampatan ini terjadi karena pengaruh deformasi pada lapisan dan partikel tanah.

“Relokasi partikel tersebut membawa serta keluarnya air dan udara yang ada di dalam pori tanah.

“Maka semakin besar massa beban bangunan yang ditumpukan kepada tanah, secara langsung dapat mengakibatkan penurunan muka tanah di wilayah tersebut semakin dalam.”

Tidak mengherankan jika di wilayah Jakarta yang memiliki banyak gedung tinggi dan besar sering terjadi banjir.
“Perlu ada perhatian khusus dari pemerintah untuk meninjau ulang maupun melakukan moratorium pembangunan di Jakarta dan peninjauan daya dukung dan tampung (carrying capacity). ”

Hal ini guna mempertimbangan kekuatan baik daya dukung dan daya tampung permukaan tanah.

Terdapat tiga langkah yang dapat dihentikan yaitu moratorium pembangunan gedung bertingkat; penghentian pengambilan air tanah; serta memastikan akses air minum kepada publik, dengan melaksanakan tiga langkah tersebut, pemerintah tidak perlu memaksakan proyek tanggul laut sebagai solusi palsu tenggelamnya Jakarta.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *