Surabaya–Detakpos-Ketua Forum Peningkatan Konsumsi Ikan Nasional (Forikan) Jawa Timur, Arumi Emil Elestianto Dardak mendorong seluruh pihak untuk membangun mentalitas rutin makan ikan di tengah-tengah masyarakat. Tujuannya agar tingkat konsumsi ikan di Jatim kian meningkat, sehingga kebutuhan gizi masyarakat, khususnya anak-anak terpenuhi.
“Jika dulu, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan, jika tidak makan ikan, harus ditenggelamkan. Mentalitas seperti itu harus ditingkatkan, karena Indonesia adalah negara maritim,” kata Ketua Forikan Arumi, saat membuka puncak Hari Ikan Nasional (Harkannas) ke-6 Tahun 2019 di Dyandra Expo Surabaya, Kamis.
Ketua Forikan Arumi mengatakan, mentalitas rutin konsumsi ikan ini harus terus dibangun, sebab ikan memiliki nilai gizi yang tinggi. Selain itu, kita tinggal di negara maritim, di mana wilayah lautan lebih besar daripada daratan. Dengan demikian, potensi ikan kita sudah pasti sangat banyak, baik ikan laut, maupun ikan tawar.
“Sebagai negara maritim, kita ingin menjadikan ikan sebagai makanan pokok, sebab akan lucu jika orang Indonesia masih kurang gizi, padahal potensi ikannya banyak. Dan ikan mengandung banyak gizi, mulai protein, karbohidrat, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh,” katanya.
Lebih lanjut Ketua Forikan Arumi menyampaikan, per Oktober ini, tingkat konsumsi ikan masyarakat Jatim sudah mencapai 36 kg per kapita/tahun. Jumlah tersebut meningkat dari tahun kemarin yang mencapai 34 kg per kapita/tahun. Dirinya menargetkan, angka tersebut bisa meningkat hingga 40-an kg per kapita/tahun.
“Kami melihat trennya semakin naik, dan itu menjadi penyemangat kami juga. Artinya, kampanye tentang ayo makan ikan itu ada keberhasilan. Harapannya, bisa meningkat terus, minimal berbeda tipis dengan Jepang,” katanya.
Agar tingkat konsumsi ikan Jatim semakin naik, istri Wagub Jatim, Emil Elestianto Dardak ini mengajak seluruh elemen Forikan kabupaten/kota untuk menyasar pondok pesantren-pondok pesantren di wilayah masing-masing. Sebab, Jatim memiliki ponpes yang sangat banyak, dengan ribuan santri maupun santriwati didalamnya.
“Kita harus pastikan gizi mereka tercukupi, di ponpes di kabupaten/kota masing-masing, yang santrinya banyak..Bisa dibayangkan, yang harus dikasih makan per harinya, ada ribuan Orang. Mari kita sasar mereka, agar rutin mengkonsumsi ikan,” ajaknya.
Ditambahkannya, pentingnya menyasar ponpes, karena ponpes merupakan ujung tombak dari pendidikan generasi muda, yang menjadi harapan masa depan bangsa. Sebab, di ponpes, mereka mendapatkan pendidikan plus-plus, yaitu edukasi, mental, dan spiritual.
“Sehingga harapan kita pada santri-santri ini sangatlah besar..Maka dari itu, jangan sampai kita kecolongan. Gizinya harus terpenuhi, Mari kita sama-sama fokus ke sana, dan mudah-mudahan dapat melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas, untuk Indonesia yang lebih maju,” ujarnya.
Pernyataan Ketua Forikan Arumi mendapat dukungan dari Ketua Forikan Nasional, Djoko Maryono. Dalam sambutannya, Djoko mengatakan, kurangnya konsumsi ikan membuat Indonesia termasuk dalam salah satu dari 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi tinggi pada balita. Yaitu stunting, wasting dan overweight.
“Hal ini dilaporkan dalam Global Nutrition Report (GNR) 2014 Nutrition Country Profile Indonesia. Prevalensi ketiga masalah gizi tersebut yaitu stunting 37,2%, wasting 12,1% dan overweight 11,9 %,” katanya.
Ditambahkannya, stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis dan stimulasi psikososial serta paparan infeksi berulang terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia dua tahun.
Stunting yang terjadi pada 1.000 HPK tidak hanya menyebabkan hambatan pertumbuhan fisik dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, tetapi juga mengancam perkembangan kognitif yang berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan potensi turunnya produktivitas anak di masa dewasanya.
“Penurunan produktivitas ini, dapat membuat pendapatan menurun 10% selama hidup mereka. Anak-anak yang kurang protein, juga bersiko meningkatkan resiko diabetes, dan penyakit jantung,” katanya.
Karena itu, Ketua Forikan nasional Djoko mengingatkan pentingnya mengembalikan budaya kembali ke meja makan ibu. Sebab meja makan ibu adalah pengarahan gizi, pengarahan psikologi dan edukasi untuk keluarga. Sehingga kemajuan bangsa ini kita mulai dari meja makan Ibu.
“Untuk makanan kaum milenial ini terbiasa dengan konsep ready to eat, dan untuk penyampaian informasi apapun harus lewat gadget. Maka, untuk menyeimbangkan pengaruh gadget ini kita harus mengembalikan budaya ke meja makan ibu,” tegasnya.
Sumber: humasprovjatim