Perbaiki Kurikulum Sejarah, Jangan Dominasi Kekerasan dan Jawa Sentris

JakartaDetakpos.com-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI sudah membantah akan menghapus mata pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Yang dilakukan adalah penyederhanaan kurikulum.

Kemdikbud akan menempatkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di SMA, bahkan menghilangkannya di SMK.

Rencana perubahan pendidikan sejarah di SMA/SMK tersebut tertuang dalam draf sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020. Draf ini beredar di kalangan akademisi dan para guru, ini yang kemudian menjadi polemik di masyarakat.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Reynold Listyarti menyatakan, terkait rencana pemerintah menyederhanakan kurikulum sejarah, “Saya menilai keputusan tersebut tidak tepat. Semua anak, baik di jenjang SMA ataupun SMK berhak mendapatkan pembelajaran sejarah dengan bobot dan kualitas yang sama.”

Bangsa yang besar, menurut dia, adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsa. Bagaimana mau menghargai kalau pelajaran tersebut tidak diberikan. Nilai-nilai yang dipelajari dalam sejarah bangsa merupakan nilai karakter nyata dan teladan bagi generasi muda, pembelajaran sejarah juga dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya para pendahulu, memberikan perspektif dan ukuran untuk menilai perjalanan bangsa

Sebagai mantan guru PPKn yang pernah mengajar selama 24 tahun, “Saya menilai memang ada muatan-muatan kurikulum sejarah dan materi pelajaran sejarah yang harus diperbaiki, begitu pun metode pembelajaran sejarahnya, mumpung Kemdikbud sedang menyederhanakan kurikulum.”

Dikatakan, kurikulum sejarah Indonesia didominasi oleh sejarah perang dan kekerasan, mulai dari Perang Bubat, Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Jawa, Perebutan tahta Singosari Ken Arok, dll).

Menurutnya, barangkali ini perlu diperbaiki agar generasi muda tidak salah menafsir seolah-olah sejarah bangsa kita penuh kekerasan sehingga nantinya dicontoh oleh generasi berikutnya.

“Dikhawatirkan generasi mudanya akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan bukan dengan dialog,”paparnya.

Padahal pembelajaran sejarah sejatinya dapat menjadi instrumen strategis untuk membentuk identitas dan karakter generasi muda sebagai penerus bangsa.

Menurut Retno, kurikulum sejarah juga didominasi oleh sejarah Jawa dan kurang memberikan tempat sejarah wilayah lain, sehingga anak Papua, anak Aceh, Anak Kalimantan, Anak Sulawesi, Anak Sumatera, dll belajarnya sejarah Jawa, padahal daerahnya juga memiliki sejarah yang layak dipelajari anak bangsa ini.

Pembelajaran sejarah oleh para guru selama ini memang cenderung hafalan, bukan pemaknaan dan esensi nilai-nilai apa saja dari suatu peristiwa sejarah tersebut bagi perjalanan bangsa dan bagaimana peristiwa buruk bisa menjadi pembelajaran yang tidak boleh terulang di kemudian hari.

Selama ini, pembelajaran sejarah cenderung membosakna bagi anak-anak karena hanya hafalan seputar apa kejadian, di mana kejadiannya, siapa saja tokoh sejarahnya, kapan terjadinya dan di mana kejadiannya.

“Bagaimana dari peristiwa sejarah itu jarang digali dan didalami melalui dialog. Kalau hafalan, cenderung mudah dilupakan dan tidak dipahami makna suatu peristiwa sejarah.”(d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *