Survei FSGI: Mayoritas Sekolah Belum Siap Hadapi New Normal

JakartaDetakpos-Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyimpulkan, mayoritas sekolah yang berada di zona hijau belum siap menghadapi kenormalan baru (new normal) jika sekolah dibuka kembali.

Metode survei bertujuan mengetahui bagaimana kesiapan sekolah menghadapi kenormalan baru seandainya sekolah dibuka kembali.

Pengumpulan data yang selama 3 hari, mulai dari tanggal 6 Juni 2020 s.d. 8 Juni 2020, melibatkan 1.656 responden. Mereka adalah guru, kepala sekolah,manajemen sekolah (yayasan) dari berbagai jenjang pendidikan PAUD/TK-SD/MI-SMP/MTs-SMA/SMK/MA berasal dari 34 Provinsi dan 245 kota/kabupaten seluruh wilayah Indonesia, tersebar mulai dari Kota Banda Aceh sampai Kabupaten Jajawijaya Papua dan Kota Merauke.

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner tertutup dan terbuka (mixed) berbasis Web yang menggunakan aplikasi Google Form, yang disebarkan melaui aplikasi Whatsapp ke seluruh jaringan FSGI.

Sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan mengkaji kecenderungan jawaban atau pilihan guru terhadap setiap pertanyaan maupun pernyataan yang diajukan pada kuesioner.

Mayoritas responden berada di zona hijau yaitu sebanyak 710 atau 42,9%. Kemudian 33,7% setara dengan 558 orang berada di zona merah. Lalu 20,8% atau sebanyak 345 orang di zona kuning, dan terakhir 43 orang atau 2,6% di zona oranye.

Artinya berdasarkan data di atas nampak para guru, kepsek yang menjadi responden berada di zona hijau. Asumsinya aman dari penyebaran covid-19 atau setidaknya masuk kategori wilayah yang warganya terjaga dari pengaruh covid-19.

Mengenai waktu yang tepat membuka sekolah kembali, mayoritas sekolah sebanyak 55,1% menjawab: Membuka sekolah jika kondisi sudah normal kembali, kapanpun waktunya; 2) 20,28, membuka sekolah pada tahun ajaran baru Juli 2020; 3) 16,2%: Membuka sekolah di awal semester genap (Januari 2021).

Mayoritas sekolah sudah mengetahui dan membaca aturan Protokol Kesehatan jika sekolah dibuka kembali.
10. Walaupun persentase tidak mutlak, mayoritas sekolah menjawab: 1) Setuju semua sekolah di semua zona tidak dibuka sampai kondisi Indonesia aman dari Covid-19 (35,4%); lalu disusul 2) Setuju semua sekolah yang berada di zona hijau dibuka kembali secara bertahap (25,6%); 3) menyerahkan semua keputusan tersebut kepada pemerintah (23,1%); 4) Setuju semua sekolah yang berada di zona hijau dibuka kembali secara serentak (15,9%).

Survei merekomendasikan Perpanjangan Pembelajaran Jarak Jauh atau Belajar di Rumah (PJJ/BDR) lebih relevan tidak hanya untuk di zona hijau melainkan semua zona. Walaupun Pemerintah sudah membuat SKB 4 Menteri yang memberikan peluang bagi siswa yang
berjumlah 6% dari populasi untuk sekolah dibuka kembali.

Tapi ini akan melahirkan persoalan baru dalam hal teknis di sekolah meliputi izin orang tua, koordinasi dengan pemda, sosialisasi protokol, zona hijau tapi dikelilingi zona merah, angkutan umum dan lain lain.

Perpanjangan PJJ/BDR harus diikuti dengan perbaikan kualitas dan layanan untuk siswa dan guru, terkhusus di daerah PJJ luring: Buka jaringan dan gratiskan internet siswa guru khusus di daerah tak ada internet; Pemda rangkul/MOU dengan radio-radio komunitas/TV lokal; berikan insentif guru kunjung terkhusus untuk guru honorer; alokasikan Dana Desa untuk membantu PJJ luring bagi siswa/guru; Alokasi khusus dana daerah untuk siswa/guru dan sekolah swasta menengah ke bawah yang terancam tutup.

Sedangkan untuk PJJ daring: Harus ada pendampingan, pelatihan untuk guru-guru agar PJJ berkualitas misal dalam penggunaan aplikasi media pembelajaran.

Kurikulum darurat atau Kurikulum adaptif di Masa Pandemi ini mutlak dibutuhkan. Sesuai dengan aspirasi para guru dari daerah dalam survei.

Ada relaksasi konten (Standar Isi) kurikulum; standar penilaian; standar proses; standar kompetensi lulusan; termasuk standra sarana-prasarana. Ini bermanfaat di masa pandemi ini dan masa mendatang jika negara mengalami ancaman atau katastropi lainnya. Ini akan mengurangi beban kerja siswa dan guru.

Mengingat pembelajaran dibatasi oleh tatap muka (waktu minim), perangkat, bergantung kepada kuota internet, dan akses. Oleh karena itu pelonggaran kurikulum yang adaptif sebuah keniscayaan. Tentu bentuknya adalah berupa Permendikbud, bukan sekedar SE Sekjen Kemdikbud/SE Mendikbud.

Harus ada alokasi anggaran khusus di luar dana BOS untuk memenuhi kebutuhan penyediaan sarana-prasarana penunjang protokol kesehatan di masa kenormalan baru nanti.

Kemdikbud/Kemenang dan Pemda betul-betul harus melakukan pengecekan langsung ke sekolah, sejauh mana kesiapan-kesiapan sekolah. Koordinasi lintas sektoral mutlak, termasuk dengan Komite Sekolah.

Sekolah jangan dibiarkan jalan masing-masing, sendiri-sediri dalam menilai kesiapan. Harus ada koordinasi, pendampingan, dan penilaian dari Pemda dan atau pemangku kepentingan lainnya.,(d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *