Menyoal Pengelolaan Dana Haji Rp 135 Trilyun

JakartaDetakpos-Keputusan Menteri Agama menerbitkan kebijakan pembatalan pengiriman jemaah haji untuk musim tahun 2020 M/ 1441 H baru-baru ini mendapat respons beragam, ada pro dan kontra.

Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengatakan,  yang menarik publik kemudian tergugah mempertanyakan bagaimana pengelolaan dana dari 4,2 juta calon haji yang menuggu giliran berangkat (waiting list) yang saat ini terkumpul kurang lebih Rp. 135 trilyun, termasuk juga Dana Abadi Ummat (DAU) yang berjumlah Rp 3,5 trilyun yang merupakan hasil efesiensi penyelenggaraan ibadah haji.

Pengajar di  UIN Jakarta
mengatakan, sejak terbit UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UUPKH) soal dana haji bukan lagi domain kewenangan Kementerian Agama tetapi menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden yang bertugas menerima, mengelola dan menginvestasikan dana calon jemaah haji.

“Agar bermanfaat dan tidak nganggur BPKH diberi kewenangan atas dana titipan tersebut (wadi’ah) tersebut untuk menginvestiasikan ke berbagai macam skema investasi berbasis syariah, supaya jemaah haji tunggu mendapatkan nilai tambah (profit) dan imbal hasil yang dikembalikan untuk jemaah,”kata Mustolih.

Dana haji diatur sangat ketat, hanya diinvestasikan pada skema investasi syariah dan harus aman dari potensi kerugian. Karenanya tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan sembarangan.

“Termasuk untuk menalangi penguatan rupiah. Apabila dana calon jemaah haji digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan UUPKH, seluruh pimpinan BPKH harus bertanggung jawab secara tanggung-renteng dan calon jemaah pun bisa mengajukan tuntutan hukum apabila ada ditemukan kerugian,”tegas dia.

Karena itu memberlakukan dana calon jemaah haji tidak bisa disamakan dengan mengelola uang negara seperti APBN atau PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang bisa diotak-atik untuk berbagai kepentingan. Karenanya BPKH harus ekstra hati-hati.

“Nah, mengapa publik belakangan waswas bahkan curiga soal penggunaan ratusan trilyun dana haji digunakan untuk kepentingan lain? “

Menurut Mustolih, penyebab utamanya karena sejak dibentuk 2017 silam sampai sekarang, BPKH sebagai pengelola dana tidak transparan. Kinerjanya pun sampai sekarang belum maksimal sebagaimana ekspektasi dan harapan publik yang menginginkan bisa mengelola dana haji sebagaimana tabung haji di Malaysia yang memberikan manfaat dan dampak sangat positif signifikan bagi jemaah.

“Belum ada terobosan berarti BPKH, utamanya atas kebijakan investasi dari dana haji yang dapat memperoleh hasil secara signifikan dan memuaskan,”tutur Mustolih, Kamis (4/6).

Soal transparansi, satu-satunya akses informasi terkait kinerja BPKH dan dana haji hanya bisa didapat melalui saluran laman website : https://bpkh.go.id/. Namun di dalam website tersebut mayoritas hanya berisi kegiatan internal dan seremonial pimpinan BPKH. Ada laporan tahun 2018 tentang keuangan haji tetapi sudah dimodifikasi sedemikian rupa, bukan menampilkan hasil audit  asli dari BPK. Padahal ada kewajiban BPKH menampilkan ke media secara luas.

Transparansi seharusnya menjadi pilar utama BPKH karena dalam UUPKH lembaga ini disebut sebagai Badan Hukum Publik terlebih seluruh operasional termasuk gaji pegawai dan pimpinan BPKH diambil dari keuantungan hasil investasi uang jemaah. Sehingga konsekwensinya BPKH berkewajiban untuk melakukan transparansi se jelas-jelasnya kepada publik tentang berbagai hal misalnya capaian dan audit kinerja, rencana kerja dan anggaran (RKA), berapa jumlah jemaah yang mendaftar haji setiap bulan, dengan pihak mana saja bekerjasama/investasi, kemana saja uang jemaah diinvestasikan, bagaimana sistem investasinya, berapa banyak imbal hasil setiap tahun/bulan yang diperoleh, berapa banyak manfaat investasi yang dijadikan ‘subsidi’ untuk penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya, berapa anggaran yang tersedot untuk kepentingan operasional dan gaji pimpinan dan karyawan BPKH, kemana saja investasi di luar negeri ditempatkan, bagaimana dengan beban pajak, bagaimana implikasi pembatalan pemberangakatan haji tahun 2020 M terhadap keuangan haji di BPKH.

Semua informasi tersebut adalah informasi yang berhak dikases oleh publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP) katrena BPKH berkedudukan sebagai badan hukum publik.

“Sayangnya, sampai saat ini BPKH belum memiliki struktur PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang secara khusus dan rutin bertugas menerima dan menyampaikan data/informasi kepada publik,”tambah dia.

Karena minimnya transparansi, maka wajar saja bila publik sampai saat ini banyak yang berspekulasi kemana dan bagaimana sesungguhnya dana calon jemaah haji digunakan, dikelola dan diinvestasikan.

“Terlebih pada saat kondisi sekarang manakala perusahan investasi di sektor keuangan di berbagai negara tengah waswas menyalakan alarm kewaspadaan tingkat tinggi karena dibayang-bayangi krisis keuangan dan finansial karena masih didera pandemi Covid-19. BPKH harus menjelaskan kepada publik bagaimana posisi dana jutaan calon jemaah haji yang diinvestasikan di berbagai jenis investasi baik yang di simpan di bank maupun non bank, di dalam maupun di luar negeri, apakah memang benar-benar aman dan kuat dalam menghadapi krisis Covid-19 ini, tentu harus didukung dengan data-data yang solid dan meyakinkan.

Sebagai catatan, yang tidak banyak diketahui publik, hasil investasi dana haji ternyata sebagian besar digunakan untuk mensubsidi penyelengaraan haji yang digelar setiap tahunnya. Biaya haji jemaah Indonesia sesungguhnya Rp70 juta/ per orang, tetapi yang dibayar oleh jemaah pada tahun berjalan sampai pelunasan (yang berangkat ke tanah suci) hanya setengahnya yakni dikisaran Rp. 35 juta/ per orang.

“Dengan kata lain, jemaah haji tunggu ternyata mensubsidi biaya jemaah haji yang berangkat. Bukankah model subsidi semacam ini berpotensi melanggar aturan syariah (karena syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu, bukan yang disubsidi) dan memunculkan ketidakadilan? Maka manakala biaya haji jemaah Indonesia dinarasikan sebagai termurah diantara negara-negara lain sebenarnya sangatlah tidak tepat. Ternyata murah karena ada subsidi.”

Karena itu belum terlambat bagi BPKH untuk menata lembaganya agar menjalankan asas transparansi dan profesionalismenya sehingga mendapat simpati dan kepercayaan publik serta memberikan keadilan bagi jutaan calon jemaah yang menitipkan uangnya. Tanpa transparansi yang terukur sangat sulit BPKH menjadi lembaga yang dipercaya publik.(d/2)

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *