Kesejahteraan “Imajinatif” Daerah Penghasil Migas Bojonegoro

Salah satu  catatan penting di dalam APBN 2017 yang telah ditetapkan menjadi Undang Undang APBN adalah asumsi “lifting” minyak nasional yang ditetapkan sebesar 815 ribu barel per hari.

Dalam “lifting” yang ditetapkan 815 ribu barel per hari itu, di antaranya, sebesar, 26 persen akan dipenuhi dari daerah penghasil minyak Bojonegoro. Dengan target “prognosis” 76,4 juta barel atau setara 212 barel per hari.

Target ini telah menempatkan Bojonegoro sebagai penyumbang lifting tertinggi diantara 88 daerah penghasil minyak di Indonesia, karena Lapangan Banyu Urip (Blok Cepu) akan  mencapai puncak produksi (peak production).

Bagi rakyat Bojonegoro yang lebih dari 10 tahun terakhir menyaksikan hiruk pikuk pembangunan fasilitas industri minyak, tentu memiliki “ekspektasi” tinggi bahwa keberadaan minyak di daerah mereka akan membawa peningkatan kesejahteraan secara lebih progresif lagi dinamika “akselerasinya”.

Berdasarkan datatan delapan tahun t erakhir walau dengan segala keterbatasan kabupaten yang dilalui Bengawan Solo itu terbukti mampu tumbuh dan dicatat dalam “survey report” oleh World Bank sebagai daerah yang tercepat pencapaian kemajuan dalam upaya pengentasan kemiskinan  di Jawa Timur.

Survei “World Bank” ini bisa menjadi pembanding atau memberikan jawaban atas publikasi penelitian CLM Penders dalam Bojonegoro 1900-1942 : A Story of Endemic Poverty in North East Java).

Namun akselerasi menuju kemakmuran, akhir-akhir ini harus di “rem”, bahkan mungkin dipaksa “jalan di tempat” melihat kondisi industri minyak nasional yang kian tidak menentu.

Rakyat Bojonegoro bakal melihat fakta bahwa tidak ada beda antara daerah yang kaya minyak dan daerah yang sama sekali tidak memiliki minyak (dilihat dari postur besaran APBD masing-masing daerah seputar Jawa Timur).

Pengorbanan Rakyat
Padahal pengorbanan rakyat Bojonegoro selama ini tidaklah ringan untuk mendukung keberadaan pengembangan lapangan minyak. Mereka telah merelakan lahan mereka untuk pengembangan fasilitas produksi dan penunjangnya.

Selain itu juga sikap toleran mereka menghadapi setiap konflik sosial dengan pekerja luar daerah, kepasrahan menghadapi resiko pencemaran lingkungan, gagal panen karena pengaruh panas gas suar.

Bahkan ancaman kesehatan karena kebocoran sesaat semburan liar gas H2S, pada akhirnya tidak berbuah terwujudnya harapan mereka akan sebuah kemajuan daerah seperti Kabupaten Siak, Bengkalis, Kutai Kartanegara dan beberapa kota lain di Propinsi Riau dan Kaltim yang telah merasakan masa keemasan industri minyak dan gas bumi pada awal era otonomi daerah.

Perhitungan perolehan Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi (migas) yakni “based on actual revenue” memang telah dipahami pemerintah daerah, walaupun tidak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat lokal pada umumnya, termasuk kalangan politisi.

Kalau lifting naik, pasti DBH migas naik. Kalaupun harga minyak turun, dengan lifting yang berlipat kali, mestinya DBH migas tidak turun. Itu pemahaman mereka. Sebagai salah satu dari 15 kota di dunia dan satu-satunya wakil Indonesia, Bojonegoro ditetapkan sebagai percontohan “Open Government Partnership, pasti selalu mempublikasikan data apapun, baik secara visual maupun secara online.

Kondisi itu membawa konsekuensi bahwa masyarakat melek data dan dapat melihat ketika 2013 “lifting” sudah mencapai 58 ribu barel per hari dengan dana bagi hasil (DBH) Rp400  miliar pada 2014.

Menyusul kemudian pada 2015 mencapai 63 ribu barel per hari dan DBH menembus angka Rp608 miliar dan seterusnya. Ketika harga minyak pada posisi mulai terpuruk pertengahan 2015 bahkan belum menunjukkan peningkatan yang berarti sampai akhir 2016, masyarakat masih berharap DBH masih bisa naik, minimal tetap – dengan asumsi peningkatan lifting.

Sederhananya begini, ketika harga satu barel sebesar 100 USD, mestinya dengan lifting sampai tiga kali lipat akan memperoleh DBH yang sama ketika harga turun menjadi 40 USD. Ini pemikiran sederhana yang sesungguhnya memiliki logika linier yang tidak salah pula.

Hal yang paling krusial adalah ketika menghadapi fakta bahwa dalam bisnis migas terlalu banyak kelaziman yang menumbangkan logika diatas. Lifting tidak menjadi parameter perolehan DBH.
Bahkan DBH tahun-tahun sebelumnya yang sudah terlanjur dibelanjakan, baik yang bersifat delivery seperti bagian Alokasi Dana Desa (ADD), bantuan pendidikan bagi siswa dan mahasiswa, maupun yang bersifat mandatory seperti infrastruktur.

Tidak hanya itu bagian 0,2 persen DBH migas untuk pendidikan dasar dan lain-lain, diperhitungkan sebagai “lebih bayar” dan diperhitungkan sebagai pengurang perolehan DBH tahun berjalan dan tahun berikutnya.

Ini akibat klaim “cost recovery” dari kontraktor yang dapat menghabiskan hampir seluruhnya perolehan DBH, sehingga bagian (equity) yang diterima daerah dalam bentuk DBH hampir tidak tersisa. Ini sudah terjadi tahun 2014 (yang baru diketahui tahun 2015)  dan memotong perolehan DBH tahun 2016 dan 2017 dengan total Rp153 miliar lebih.

Bahkan tahun 2017 mendatang yang belum tentu memperoleh DBH (walaupun sudah menyumbangkan 26 % lifting nasional), ancaman pemotongan karena cost recovery tahun 2015 (yang saat itu hanya menerima Rp660 milialr) terdapat “lebih bayar” 550 milyar.

Alhasil, lifting tahun 2015 sebesar 31 juta barel atau setara 86 ribu barel per hari hanya “dihargai” DBH senilai Rp110 miliarsaja.  Cost recovery rasanya seperti datangnya angin puting beliung yang membangunkan rakyat Bojonegoro dari mimpi untuk memperoleh kesejahteraan hidup di hari esok yang lebih baik.

Sesungguhnya kesemuanya itu tidak harus ditanggung rakyat Bojonegoro. Mereka sadar dan bangga bahwa dari tanah tempat berpijak, Indonesia dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan energy nasional.

Namun seharusnya pemerintah pusat membuka sedikit ruang fiskal yang lebih lebar, misalnya beban cost recovery tidak dibebankan dalam masa 1 tahun anggaran sehingga masih cukup tersisa DBH bagi keberlanjutan pembangunan daerah.

Sepatutnya pula, formulasi celah fiskal bagi daerah penghasil perlu ditinjau ulang dengan tidak mengurangi bagian Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Infrastruktur Daerah (DID), karena DBH migas belum mampu menjadi komponen yang memperkuat kemampuan fiskal daerah.

Tanpa itu, maka yang terjadi adalah bahwa APBD daerah penghasil migas bisa lebih kecil dibandingkan APBD non daerah penghasil. Artinya, migas hanya memberi kesejahteraan “imajinatif” belaka bagi rakyat di daerah.

Tidak terlalu berlebihan mempertanyakan  masih relevan tagline Kementerian ESDM yang berbunyi : “Migas untuk kesejahteraan rakyat”?.

 

(Slamet AS wartawan di Bojonegoro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *