Opini Oleh : Rully Anwar **)
HASIL kalah tipis 1-0 tim nasional sepak bola Indonesia atas Malaysia di SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia tidak saja menambah rentetan statistik kekalahan kita terhadap tim tuan rumah. Kekalahan ini juga menambah “luka hati” ketika dalam proses ajang kompetisi olah raga dua tahunan ini sang tuan rumah bertindak off side.
Tentu, kekalahan timnas Sabtu lalu di semifinal menjadi titik puncak perjalanan tim sepak bola kebangaan negeri ini. Padahal jika kita ikuti permainan Garuda Muda relatif konsisten dan terjaga baik. Kebobolan gol di menit-menit terakhir babak kedua seakan menjadi sesuatu yang menyakitkan, sekaligus menyedihkan. Apalagi gol itu berasal dari bola mati dan tidak ada pemain timnas yang siaga mencegah bola liar tersebut.
Seharusnya Indonesia bisa memetik hasil baik di partai semifinal tersebut. Namun, apa daya dewi fortuna tidak hinggap dalam pusaran pemain-pemain Garuda Muda. Teryata memang tidak cukup kemenangan diraih jika kita hanya menguasai pertandingan, bermain lebih baik, dan menciptakan banyak peluang bersih.
Namun, kekalahan ini relatif bersih dan beradab buat kita sebagai bangsa. Setidaknya pemain-pemain Garuda Muda tidak terlalu “protes” pada takdir kekalahannya. Mereka hanya terluap pada sisi emosionalnya sebagai manusia, bersedih, menangis, dan pasrah.
Kekalahan di semifinal oleh Malaysia pekan lalu menjadi penanda pelajaran bagi timnas.Kalah secara beradab tentu lebih utama dibandingkan kita kalah secara emosional, apalagi curang dan kasar.
Tentu, kita masih ingat bagaimana timnas saat melawan Timor Leste dan Kamboja di babak penyisihan. Dalam dua pertandingan tersebut, para pemain Indonesia berhasil diprovokasi jahat oleh lawan-lawannya. Akibatnya merugikan, beberapa pemain absen karena hukuman kartu.
Terutama tiga pemain penting absen di semifinal karena terlibat kericuhan dan terbawa suasana permainan kasar lawan. Parahnya lagi saat itu, sang kapten Hansamu Yama Pranata justru menjadi aktor yang gampang terprovokasi, padahal kapten sejak dulu adalah orang yang dipilih karena secara emosional lebih stabil dibandingkan rekan-rekan di tim.
Apalacur, dalam dua pertandingan yang disebut di atas, Hansamu malah terlibat bahkan hampir terjadi perkelahian, khususnya ketika melawan Kamboja. Padahal dengan posisi menang, mestinya secara emosional lebih mudah mengendalikan. Akibatnya, Hansamu gagal tampil di semifinal.
Boleh jadi kekalahan dengan Malaysia di semifinal kemarin adalah wujud kemenangan timnas dengan makna yang lain. Kekalahan yang tidak disambut seperti Kamboja menyambut kekalahannya. Mestinya kekalahan juga harus disyukuri sebagai sebuah ujian. Jika selama ini sujud syukur dilakukan saat mencetak gol atau memenangi pertandingan. Rasanya juga perlu dibangun tradisi sujud syukur di lapangan juga karena kekalahan.
Toh sujud adalah wujud rasa syukur atas apapun yang menjadi kehendakNya.Memang, kekalahan timnas dari Malaysia bukan sekadar satu gol di penghujung laga semata. Kekalahan harus dijadikan instropeksi dan evaluasi.
Pembinaan dan kualitas kompetisi di Tanah Air menjadi kunci. Jangan sampai sepak bola kita diurus salah arah sampai-sampai urusan pembinaan dan kompetisi yang menjadi jantung dari kualitas tim nasional nantinya terlupakan hanya gara-gara fokus yang salah dalam mengurus sepak bola.
Betapapun sepak bola adalah olah raga yang menyedot perhatian publik, massal, dan simbolik. Sepak Bola juga menjadi identitas kebangsaan kita, apalagi tim nasional Garuda Muda. Jadi, mari memaknai kekalahan ini sebagai sebuah kekalahan yang beradab dan itu sebuah nilai kemenangan tersendiri bagi masa depan kita sebagai bangsa yang beradab. Semoga!
** Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Josstoday.com dan Bumntoday.com