Ana-Wawan “Pecah Kongsi”?

Oleh: A Adib Hambali (*

FENOMENA perpolitikan di Bojonegoro, Jawa Timur, memanas. Hubungan tidak harmonis antara Bupati Ana Mu’awanah ,(Ana) dan Wakil Bupati Budi Irawanto (Wawan) kembali mencuat di tengah maraknya kasus pandemi virus Corona (Covid-19).

Pemantiknya, lagi lagi soal mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Bojonegoro. Wawan kepada media menyatakan, periode ini Bupati sudah delapan kali melakukan mutasi pejabat di lingkungan Pemkab, namun dirinya selaku ketua Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) tidak pernah dilibatkan.

sebelumnya, Bupati Ana Mu’awanah (Detakpos, 2/5/2019), melantik sejumlah pejabat hasil mutasi kedua masa jabatannya, Wawan juga mengaku tidak dilibatkan.

Pertanyaannya, inikah
berakhirnya masa bermesraan pasangan Ana-Wawan pascagelaran Pemilukada 2018, sehingga masuk fase “pecah kongsi” pasangan yang diusung PKB dan PDI-Perjuangan ini.

Kondisi seperti ini, para pengamat dan pemerhati politik sering memberi label pada situasi politik bercerainya duet kepala daerah dan wakil kepala daerah itu.

Sepertinya terjadi setiap tahun sejak perhelatan Pemilukada. Fenomena pecah kongsi itu menjadi catatan  Kemendagri. Sepanjang tahun 2010 dan 2011, dari 311 Pemilukada (Gubernur, Bupati, Walikota) hanya sekitar 6% yang tetap solid memangku jabatan hingga akhir kemudian kembali maju dalam posisi yang tetap sama untuk periode berikutnya.

Sisanya, berarti sekitar 94% berantakan. Paling tidak di tahun penghujung masa jabatan mereka.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri periode 2010-2014, mencatat, kinerja kepala daerah seperti gubernur, bupati dan wali kota tidak lepas dari gerak wakilnya. Namun, hampir 90 persen kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan.

Secara normatif, tidak ada satu pun ketentuan yang melarang pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana bercerai.

Oleh sebab itu fenomena ini secara politik menjadi “halal”. Tetapi dari sisi etika, perilaku ini pantas dipersoalkan.

Yang paling mendasar adalah fenomena pecah kongsi ini mengisyaratkan kontestasi Pemilukada benar-benar hanya menjadi ajang pertarungan memperebutkan kekuasaan dan kedudukan belaka.

Setidaknya, orientasi kekuasaan untuk kekuasaan jauh lebih hegemonik dalam cara pikir para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan, dibandingkan dengan orientasi kekuasaan untuk mewujudkan esensi makna kedaulatan rakyat, misalnya : keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Perilaku ini jelas mengindikasikan betapa persoalan akuntabilitas politik terhadap amanah konstituen yang telah memberikan mandat kuasanyab masih menjadi pertanyaan.

Sementara itu, dalam konteks tatakelola pemerintah, fenomena ini juga berpotensi tidak sehat bahkan kontraproduktif.

Sejumlah aspek tatakelola dan ekologi pemerintahan jelas bisa terganggu oleh situasi ini. Mulai dari soliditas birokrasi, stabilitas manajemen hingga aspek pelayanan publik yang seharusnya menjadi concern mereka sebagai kepala dan wakil kepala daerah.

Dalam konteks jangka menengah dan panjang, fenomena pecah kongsi yang semakin masif ini juga berpotensi menurunnya tingkat  kepercayaan politik masyrakat. Terutama pada segmen masyarakat yang kritis secara politik.

Karena itu calon kepala daerah dan wakil sebelum maju perlu memiliki visi dan misi sama. Bukan sekadar visi misi yang diperlihatkan dan dijanjikan kepada rakyat untuk memenangkan pertarungan.

Selamat Datang

Banyak sekali yang berpasangan tetapi tidak ada chemistry-nya. Asal saja yang penting ada pasangan dan seolah-olah sama visi misinya. Kalau seperti itu selamat datang “pecah kongsi.”

Jika serius membangun daerah, calon kepala daerah dan wakil, perlu serius pula mempersiapkan hal tersebut.

Jadi, kepala daerah dan wakil bisa benar-benar bersinergi untuk membangun daerah. Tidak hanya menggebu-gebu waktu berkampanye

Jika demikian, kekompakan pasangan bupati dan wakil bupati dalam memimpin daerah kerap tidak bertahan lama. Kemesraan antara keduanya biasanya hanya bertahan selama enam bulan pertama pascappemilukada.

Di banyak daerah, setelah satu tahun pemerintahan, konflik antara bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota sudah memanas. Bahkan, biasanya masing masing sudah menyusun kekuatan untuk melawan bupati di Pemilukada selanjutnya.

Misal dengan membangun kekuatan pendukung, penguatan finansial, bahkan menyingkirkan mereka yang diperkirakan bukan pendukung. Apalagi jika sejak awal sudah menyatakan akan menjadi petahana. *)

Penulis: Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *