Antara Wuhan dan Uighur

Oleh : A Adib Hambali (*

DUA kota di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), atau China, Wuhan dan Uighur menjadi sorotan dunia internasional. Pasalnya di dua daerah ini disebut sebut terjadi tragedi kemanusiaan. Meski berbeda, namun berakibat sama yaitu  menimbulkan keresahan dunia.

Merebaknya penyebaran virus pneumonia Wuhan, China atau novel coronavirus (nCoV), mengakibatkan puluhan orang meninggal secara mendadak di Negeri Tirai Bambu itu.

Otoritas kesehatan di China mengonfirmasi ihwal kematian di provinsi Hubei, pusat wabah virus 2019-nCoV, jenis baru dari coronavirus atau virus.

Hingga Minggu (9/2/2020), virus corona lebih dari 800 orang meninggal dunia dan menginfeksi puluhan ribu lainnya.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI)  tanggal 24 Januari 2020, mengeluarkan siaran pers perihal Outbreak
Pneumonia Virus Wuhan.
Dan WHO Novel Coronavirus (2019-nC0V) situation Report-5, 25 Januari 2020, mengeluarkan surat edaran tentang pneumonia: adalah infeksi atau peradangan akut di jaringan paru yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, virus, parasit, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik paru.

Gejala yang muncul pada pneumonia ini mirip dergan pneumonia pada umumnya, di antaranya demam, lemas, batuk kering dan sesak atau kesulitan bernapas.

Pneumonia dapat menyerang siapa saja, seperti anak anak, remaja, dewasa muda dan lanjut usia, namun lebih banyak pada balita dan lanjut usia. Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di negara berkembang.

Digelar sidang Executive Board (EB) WHO ke-146 yang bertempat di Jenewa, Swiss. Pertemuan yang berlangsung tanggal 3-8 Februari 2020 ini antara lain membahas agenda dan rancangan resolusi yang akan disahkan pada World Health Assembly (WHA) bulan Mei 2020 mendatang, di samping isu-isu kesehatan global yang tengah mengemuka.

Sidang EB WHO ke-146 ini berlangsung pada situasi yang tidak biasa, yaitu di saat masyarakat internasional tengah menghadapi sebuah Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), yaitu 2019 Novel Coronavirus (n-CoV) yang per tanggal 5 Februari 2020 telah menjangkiti lebih dari 24 ribu individu.

Camp Konsentrasi

Di belahan lain RRT, sebelumnya muncul polemik etnis minoritas Uighur di Xinjiang yang mengemuka.

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno LP Marsudi saat bertemu dengan Menlu RRT Wang Yi di sela-sela Pertemuan Asia Europe Meeting Foreign Minister Meeting (ASEM FMM) ke-14 di Madrid, (16/12/2019),
mengkonfirmasi  mengenai perkembangan situasi di Xinjiang.

Menlu RRT menegaskan komitmennya bahwa kebebasan beragama umat Muslim di Xinjiang dijamin oleh negara. (kemlu.go.id,17/12/2019).

Setidaknya, pernyataan itu mengkonfirmasi terhadap pihak pihak yang masih menyorot ihwal perlakuan represif dan kebijakan tidak manusiawi yang dialami etnis minoritas Uighur, dan banyak negara di dunia mempersoalkan kabar kesewenang-wenangan ini.

Pada Juli 2019, 20 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) termasuk Australia, Inggris, Kanada, Prancis, dan Jerman, yang menjadi sekutu  AS, mengirim surat kecamanan kepada para pejabat tinggi Dewan HAM PBB terkait perlakuan otoritas RRT terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lain di wilayah Xinjiang.

Sejak bocor dokumen tudingan penindasan etnis Uighur dan minoritas muslim lain oleh Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi, gelombang protes dan kecaman terhadap dugaan pelanggaran HAM otoritas RRT terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim semakin meluas.

Isu Uighur mencuat usai sejumlah organisasi HAM internasional merilis laporan yang menuding China menahan satu juta etnis Uighur di kamp penahanan layaknya kamp konsentrasi.

Kepala Hubungan Internasional MUI, Muhyiddin Junaidi yang mengikut tur ke Xinjiang menuturkan kunjungan ke Xinjiang pada Februari tahun lalu dipantau ketat oleh pihak berwenang RRT. Ia juga mengklaim orang-orang Uighur yang ia temui di sana terlihat ketakutan.

Muhyiddin mengatakan upaya RRT mengundang tokoh-tokoh Islam berpengaruh di Indonesia ke Xinjiang didesain untuk “mencuci otak” opini publik.

Pengurus PBNU Masduki Baidlowi menyebutkan, sampai saat ini prinsipnya terkait Uighur tidak pernah berubah.

Staf Khusus Wapres itu mengakui etnis Uighur di sana masih memprihatinkan terutama soal hak dasar beribadah. Kalau kehidupan ekonomi cukup.  Jadi menurut Masduki, ini persoalan kebebasan beribadah.

Pemerintah RRT sendiri belum membuka peluang pihak mana pun untuk melakukan investigasi secara objektif mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di Provinsi Xinjiang.

Baik tragedi kemanusiaan di Wuhan maupun Uighur sama sama memerlukan penanganan serta penyelesaian oleh otoritas RRT.
Langkah-langkah Pemerintah China membuat Rumah Sakit Khusus 2.600 bed di Wuhan, Karantina Kota-kota di Provinsi Hubei, dan penutupan serta pembatasan penerbangan.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan pendekatan agama untuk mengatasi hal itu dengan menginstruksikan seluruh Nahdliyyin santri santri di pondok pesantren untuk membaca Sholawat Thibbil Qulub dengan memohon kepada Alloh SWT menghilangkan musibah dari China, negara negara lain, khususnya Indonesia.

Harapan kita, juga warga muslim di Uighur, bisa mendapat kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan  dan ajaran agama untuk mendapatkan ridho Alloh SWT. Aamin. *).

Penulis: Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *