Birokrasi dan Rendahnya Serapan Anggaran

 

Oleh A Adib Hambali (*)

TAHUN 2018, dua minggu lagi berakhir, memasuki tahun 2019. Hingga pertengahan bulan Desember Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur, serapan anggaran APBD baru sebesar 66 persen.

Bupati Ana Mu’awanah pun mengvaluasi ihwal masih rendahnya penyerapan anggaran dalam Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) 2018, yang baru tercapai 66 persen tersebut.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) rata-rata sanggup memenuhi target penyerapan paling tidak sampai 85 persen pada akhir tahun.(Detakpos, 13/12). Tentu dalam waktu singkat karena sudah akan tutup tahun.

Sisa anggaran dalam kas daerah saat ini masih Rp 1,517 trilliun dari total pagu anggaran mencapai Rp 3,6 trilliun.

Ada beberapa aspek memiliki andil terhadap rendahnya penyerapan anggaran di daerah. Secara umum jika mau disebutkan ada tiga, yaitu DPRD, kepala daerah dan birokrasi. Itu yang menjadi faktor utama.

Contog faktor birokrasi. Dari total 41 lembaga pendidikan yang mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos) Pemkab Bojonegoro masih banyak yang tidak bisa dicairkan.

Padahal, lembaga tersebut sudah mendapat SK dari Bupati dalam pelaksanaan pengerjaan bangunan ruang kelas.

Kepala Sekolah MTs Muhammadiyah 8, Kecamatan Kepohbaru, Yazid Zaenal Fanani mengaku tidak mendapatkan alasan pasti kenapa Bansos yang berupa dana hibah untuk ruang kelas tersebut tiba-tiba tidak dapat dicairkan.

Padahal semua lembaga pendidikan yang sudah mendapatkan SK, telah dalam tahap pengerjaan.

Dari total 41 lembaga tersebut, yang bisa cair hanya 19 lembaga saja, sisanya tidak dapat cair.

Dan lembaga yang dipimpin, satu-satunya MTs batal mendapatkan dana Bansos, karena ada tanda silang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setempat.

Yazid mengaku sudah melaksanakan pembangunan sampai 40 persen dengan dana pinjaman, sehingga dia merasa bingung jika tidak cair karena harus membayar utang.

Senada diungkapkan Kepala Sekolah lainnya, Ali Imron, jika kedatangan mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro, untuk memastikan hal tersebut.

Apakah masih ada kemungkinan bisa cair apa tidak. Sebab terjadi kebingungan di dalam lembaga.

Bantuan hibah yang seharusnya diterima senilai Rp 200 juta, untuk setiap lembaga pendidikan.

Ngambang

Namun nasib sejumlah lembaga pendidikan calon penerima hibah Bansos dari Pemkab Bojonegoro, masih mengambang, atau belum jelas pencairannya. Nuansa saling lempar pun mewarnai pencarian dana Bansos.

Pihak Dinas Pendidikan (Diknas) Kabupaten Bojonegoro, menyatakan sudah menyelesaikan semua tugas yang berkaitan dengan dana hibah Bansos untuk 41 lembaga pendidikan swasta, pada anggaran tahun 2018.

Tugas dari Diknas hanya melakukan verifikasi untuk lembaga pendidikan calon penerima bantuan hibah.

Tugas tersebut sudah selesai dilakukan, dan seluruh berkas yang dibutuhkan sudah dikirim ke Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).

Masalah cair atau tidaknya bantuan hibah tersebut bukan domain Diknas. Itu kewewenang dari BPKAD.(Detakpos Rabu ,12/12).

Kepala BPKAD, Ibnu Soeyoeti menjelaskan masih belum bisa dipastikan apakah tidak cair atau bisa cair. Sebab masih belum akhir waktu, sehingga masih ada kesempatan.

“Kami belum menerima berkas dari SKPD yang bersangkutan, sehingga belum bisa menyimpulkan dapat cair atau tidak,” terang Ibnu.

Terkait dana hibah pendidikan kenapa terjadi, sebab dana anggaran Pemkab masih tersedia, bahkan belum terserap. Sisi lain sejumlah kepala sekolah bingung, karena SK yang sudah diijonkan ke toko bangunan terancam bansos terancam tidak cair.

Tidak hilang dana yang tidak terserap di 2018, karena dimasukkan ke Silpa ABPD 2019. Jika demikian maka selain birokrasi maka ada faktor kepala daerah yang menyebabkan minimnya serapan anggaran. (*)

Penulis: Redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *