Oleh : A Adib Hambali (*
DILEMATIS. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ibadah Haji 2020. Awal Juni, mungkin baru ada kepastian berangkat atau tidaknya jemaah haji Indonesia ke Tanah Suci.
Pasalnya, pandemi Covid-19 masih menjadi gejala global dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir, termasuk di Indonesia maupun di Arab Saudi. Pemerintah belum memastikan kebijakan haji, apakah akan tetap memberangkatkan misi haji Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya atau menunda (meniadakan) karena masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah kerajaan Arab Saudi pada awal Juni.
Penyelenggaraan haji 2020 sedianya akan digelar pada akhir Juli mendatang. Jadwal pemberangkatan (penerbangan) keloter pertama jemaah haji take off 26 Juni.
Dengan waktu semakin mepet, sejumlah pihak khususnya jemaah haji gelisah. Ketidakpastian tersebut, berimbas kepada persiapan Kementerian Agama sebagai leading sector penyelenggara ibadah haji. Berbagai persiapan yang seharusnya telah selesai atau sudah dalam proses belum bisa dijalankan. Adapula yang sudah dijalankan tapi tidak optimal sebagaimana dalam ‘kondisi normal’ sebelum Covid-19 merebak. Demikian penilaian Komnas Haji dan Umrah,(Detakpos,25/5//2020)
Sebut saja manasik (pelatihan tata cara ibadah) jemaah, penyiapan dokumen paspor dan visa, koordinasi panitia pusat dan daerah dan pembekalan petugas menjadi tidak maksimal.
Bahkan untuk kontrak-kontrak pemenuhan berbagai kebutuhan di Arab Saudi seperti pemondokan, pengadaan katering dan transportasi belum bisa dijalankan.
Musababnya pemerintah Arab Saudi sendiri meminta semua negara pengirim misi haji untuk menunda kontrak-kontrak bisnis terkait agenda haji, maklumat tersebut sampai sekarang belum dicabut. Padahal penyelenggaraan haji makin dekat dan sudah di depan mata.
Apabila ternyata penyelenggaran ibadah haji tetap dilaksanakan dikhawatirkan Kemenag tidak memiliki waktu yang cukup, sehingga persiapan tidak matang karena buru-buru, hal mana bisa berakibat fatal karena layanan tidak optimal.
Dengan situasi tersebut maka sangat sulit mewujudkan kegiatan haji yang ideal.
Karenannya berdasarkan fakta-fakta ini Komnas Haji dan Umrah mendorong agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Agama segera mengambil kebijakan tegas dengan menunda pengiriman misi haji Indonesia tahun 2020 karena pandemi Covid-19 yang masih menjadi gejala global dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir, termasuk di Indonesia maupun di negara tuan rumah, Arab Saudi.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia yang mendapat kuota terbanyak 221 ribu jemaah tentu sangat berkepentingan untuk melindungi keselamatan jiwa warganya dari ancaman virus mematikan (hifzun nas) .
Tanpa menunggu keputusan pemerintah Arab Saudi, seharusnya Presiden sebagai kepala pemerintahan dari sebuah negara yang berdaulat secepatanya mengambil kebijakan demi keselamatan jiwa ratusan ribu jemaah berikut ribuan petugas yang berasal dari berbagai instansi di luar Kemenag seperti tenaga medis dari Kementerian Kesehatan, Kepolisian, TNI, Polri, Kementerian Perhubungan dan unsur petugas daerah.
Siapa yang akan bertanggungjawab dan bisa menjamin bila ratusan ribu orang tersebut tidak terinveksi Covid-19, baik dalam proses di Tanah Air maupun manakala berada di Arab Saudi akibat berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara yang juga belum bebas dari Covid yang berpotensi membawa virus.
Sangat sulit menerapkan strategi social dinstancing maupun physical distancing pada saat penyelenggaraan ibadah haji, terutama pada saat agenda-agenda krusial seperti thawaf, wukuf, sa’i, lempar jumrah.
Sebanyaj 1,3 juta orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada saat yang bersamaan. Untuk saat ini, masih sangat berisiko memberangkatkan jemaah haji.
Selain alasan-alasan itu, hal lain yang bisa menjadi landasan Presiden (pemerintah) menunda (meniadakan) pelaksanaan rukun Islam kelima pada tahun 2020, pemerintah masih belum mencabut status darurat bencana nasional akibat pandemic covid-19 sebagaimana tertuang melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional yang diberlakukan sejak 13 April 2020. Oleh karenanya segala ketentuan dan pendekatan mestinya menggunakan perspektif kebencanaan.
Dengan kata lain penundaan pemberangkatan misi haji bisa merujuk beleid tersebut bukan karena keinginan pemerintah, akan tetapi terhalang oleh bencana non alam berupa Covid-19 yang melanda dunia sehingga tugas dan kewajiban pemerintah menyelenggarakan haji terhalang oleh bencana atau dengan kata lain terjadi force majeur.
Hal ini penting dikemukakan karena pihak Kemenag mungkin saja merasa khawatir bila haji ditunda akan mendapatkan gugatan dari berbagai pihak termasuk gugatan class action dari jemaah.
“Keinginan menunda tentu saja bukan dari pemerintah, tetapi karena situasi yang membahayakan jiwa jemaah,”tutur Ketua Komnas Hajin dan Umrah Mustolih Siroj.
Juga, aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berlaku di berbagai daerah, jika pemerintah konsisten terhadap aturan PSBB maka larangan berkumpul atau ‘pengarahan massa’ juga berlaku terhadap kegiatan apapun tak terkecuali prosesi pemberangkatan jemaah haji yang melibatkan ratusan ribu orang, belum lagi kehadiran keluarga dan kolega jemaah yang biasanya turut mengantar bisa menjadi sumber pengumpulan massa sehingga bertentangan dengan PSBB.
Selain itu juga akan keluar biaya/anggaran ekstra jumbo terkait dua sektor penting yaitu penerbangan (transportasi udara) dan kesehatan. Peraturan Menteri Perhubungan perusahaan maskapai hanya boleh mengangkut 50 persen dari daya tampung karena harus memberlakukan social distanscing di dalam pesawat sehingga untuk keperluan haji harus menyediakan dua kali lipat angkutan pesawat yang sudah dijadwalkan, baik untuk pemberangkatan maupun pemulangan. Ilustrasinya, jika pesawat berkapasitas 500 penumpang, maka hanya boleh diisi setengahnya.
Di sektor kesehatan juga harus ada anggara tambahan untuk berbagai keperluan kesehatan seperti fasilitas, peralatan dan kebutuhan medis mencegah dan mengobati jemaah dari Covid-19. Biaya-biaya lain untuk menyesaikan dengan situasi juga bisa timbul. Pertanyaannya dari mana anggaran akan diambil.
Tenaga kesehatan (nakes) seperti dokter, perawat dan tenaga kesahatan lainn juga harus ditambah dalam jumlah banyak untuk menjaga kesehatan jemaah dan petugas. Padahal saat ini peran mereka tengah difokuskan untuk membantu menangani covid 19 di dalam negeri yang masih fluktuatif, bahkan diprediksi setalah lebaran akan ada lonjakan pasien positif Covid-19 yang signifikan akibat kurangnnya kepatuhan masyarakat terhadap aturan PSBB.
Bila tenaga kesehatan ditarik lebih banyak untuk mengawal penyelenggaraan haji di tanah suci maka tentu saja akan mengurangi pelayanan penanganan Covid-19 di Tanah Air.
Cluster Baru
Kemudian, misi jemaah haji yang berjumlah 221 ribu orang dikhawatirkan berpotensi terinveksi selama prosesi haji menjadi cluster baru, baik selama proses di Tanah Air maupun di tanah suci karena berinteraksi dengan jutaan jemaah lain dari berbagai negara sehingga manakala pulang kampung sangat potensial menjadi cluster baru Covid-19.
Tentu saja semua pihak tidak menginginkan ini akan terjadi. Terlebih terlebih 1 persen (sekitar 2 ribu orang) porsi jemaah diperuntukkan bagi jemaah usia lanjut usia (lansia) sehingga beresiko tinggi (risti) dan rentan mengalami gangguan kesehatan. Itulah catatan Komnas Haji dan Umrah.
Masih lekat dalam ingatan publik salah satu cluster penyebaran Covid-19 Tanah Air berasal dari cluster acara jemaah tabligh di kabupaten Gowa, puluhan ribu orang berkumpul mengabaikan PSBB. Sehingga dikhawatirkan Keloter jemaah haji yang berasal dari berbagai daerah berubah menjadi “Kelompok Terinveksi”.
Kesiapan mental dan fisik petugas haji (di luar petugas medis) karena kurikulumnya tidak disiapkan dan didesain sejak awal untuk menghadapi situasi seperti saat ini harus berjibaku mengahadapi ‘musuh’ tak terlihat seperti wabah covid-19 sehingga dikhawatirkan bisa berdampak pada pelayanan. Sebab salah satu faktor penentu sukses tidaknya penyelenggaraan ibadah haji adalah kinerja para petugas di lapangan.
Kondisi Arab Saudi belum aman dan kondusif karena masih dikepung covid-19. Berdasarkan data Worldometers, sampai 18 Mei 2020, sudah ada 57.345 kasus positif corona di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, 320 jiwa meninggal dunia dan 28.748 pasien sembuh. Artinya, masih ada 28.277 pasien Covid-19 yang dirawat di Saudi.
Arab Saudi saat ini berada di peringkat 15 dalam daftar negara yang memiliki jumlah pasien Covid-19 terbanyak di dunia. Pemerintah harus mencermati kondisi ini sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Beberapa waktu lalu, pemerintah menawarkan salah satu strategi dan skenario yang disampaikan oleh Kemnterina Agama jika haji tidak akan bisa memanggil tetap dilaksanakan dengan hanya akan mengirimkan setengah dari jatah kuota.
Namun hal itu bukanlah solusi, jika dikalkulasi melalui skema ini berarti akan ada kurang lebih 110 ribu orang yang berangkat ke tanah suci, dengan gelombang rombongan yang begitu besar tersebut jemaah dan petugas sangat berpotensi terinveksi Covid-19.
Maka itu sekenario tersebut sangat berisiko karena tidak ada bedanya dengan pengiriman sesuai kuota. Komnas berharap pemerintah tidak memaksakan diri tetapi melihat secara objektif kondisi saat ini
Komnas Haji dan Umrah mengakui Keputusan penundaan haji 2020 tentu saja akan membuat sejumlah pihak tertentu akan merasa kecewa dan tidak happy, baik bagi jemaah yang sudah sangat lama menanti beribadah di Tanah Suci menyempurnakan rukun Islam maupun pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi atas penyelenggaraan ibadah ini.
Tetapi penundaan pemberangkatan haji adalah jalan terbaik saat ini, menyelamatkan ribuan jiwa rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan manapun. *).
Redaktur Senior Detakpos