“Dinasti” Politik?

Oleh: A Adib Hambali *

PILKADA 2020 usai digelar.
Putra Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Wali Kota  di Solo. Bobby Nasution, sang menantu pun menang di Medan.

Setiap warga negara mempunyai hak berpolitik. Hak itu dijamin oleh konstitusi, prinsip hak asasi, dan prinsip demokrasi. Tak ada pula prinsip etika politik yang dilanggar oleh hak berpolitik setiap warga negara dewasa.

Hak berpolitik itu juga tidak gugur jika warga negara itu kebetulan anak dan menantu presiden yang sedang berkuasa.

Peneliti senior dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pun menanggapi mencoba member pencerahan terhadap  kontroversi Jokowi yang membiarkan putra dan menantu maju menjadi kepala daerah.

Denny lantas mengambil contoh di Amerika Serikat. Dinasti Kennedy dalam politik kini sudah sampai pada generasi ketiga.

Politik Amerika Serikat sejak tahun 1961 mulai diwarnai oleh Dinasi Kennedy. Itu ketika John F Kennedy (JFK) terpilih sebagai presiden. Muda. Cerdas. Tampan. Provakatif. Berprestasi.

Wafatnya JFK karena ditembak di tahun 1963, dan kharisma JFK ketika menjadi presiden, segera membuat nama “Kennedy” melambung. Nama itu menjadi mantera. Ia getaran politik dalam memori kolektif populasi di Amerika Serikat.

Lebih kuat lagi getaran Kennedy itu ketika adik kandung John F Kennedy juga maju sebagai capres USA di tahun 1968, lima tahun kemudian. Robert memiliki kharisma yang sama. Ia pun diprediksi akan terpilih sebagai presiden.

Tapi sebelum terpilih, Robert Kennedy tertembak mati. Hanya dalam rentang 5 tahun, dua politisi paling populer saat itu tewas tertembak. Terbunuh. Dua duanya menyandang nama Kennedy.

Kennedy Clan diperkuat lagi dengan tampilnya Ted Kennedy, adik bungsu John F kennedy.

Ted (Edward) Kennedy menjadi senator dari Massachuset selama 50 tahun sejak tahun 1962. Ia tepilih kembali sebagai senator sebanyak 7 kali.

Ia terkenal sebagai senator yang sangat berpengaruh. Sebanyak 300 bills (undang undang) yang ditulis oleh Ted Kennedy. Ia menggoalkan kebijakan isu besar mulai dari AIDS, Immigrant hingga Health Care.

Termasuk sentuhan politiknya yang mutakhir sebelum wafat, Ia berkampanye intensif untuk Obama. Ujar Ted, baik untuk tradisi politik Amerika Serikat jika kita pernah memiliki presiden berkulit hitam.

Kini keluarga Kennedy dalam politik Amerika Serikat sudah sampai pada generasi ketiga.

Josep P Kennedy III adalah cucu Robert Kennedy. Ia tengah mempersiapkan diri maju menjadi senator. Ia sudah menjadi anggota Konggres sejak tahun 2013. Demikian catatan Denny JA, diunggah di WAG para redaktur ini.

Christ Kennedy adalah putra Robert Kennedy. Ia juga berpolitik maju sebagai gunernur Ilinois, AS.

Ted Kennedy Jr adalah putra Ted Kennedy. Ia sudah menjadi senator kedua kalinya di wilayah Connecticut.

Tapi tak ada yang lebih bangga soal politik dibanding Barbara Bush. Suaminya George H.W Bush adalah presiden Amerika Serikat.

Putranya George W Bush juga presiden Amerika Serikat. Putranya yang lain: Jeb Bush pernah menjadi Gubernur Florida. Barbara adalah istri dan ibu dari dua presiden Amerika Serikat.

“Tradisi dinasti politik juga menjadi praktek biasa di negara demokrasi lain,”ungkap Denny.

Nestor Kirchner Presiden Argentina di tahun 2003-2007. Ketika selesai jabatannya, istrinya Kristina Fernandes de Kirchner terpilih mengganti sang suami (2007-2010).

Negara demokrasi Jepang juga diwarnai banyak dinasti politik. Satu yang menonjol adalah The Fukuda Family. Takeo Fukuda menjadi Perdana Menteri Jepang di tahun 1976-1978). Anaknya Yoseu Fukuda juga menjadi Perdana Menteri Jepang, di tahun 2007-2008.

Juga demokrasi di Eropa. Giscard D’esteing Presiden Perancis di tahun 1974-81. Pamannya dan kakeknya juga politisi ternama di Perancis (Jacques Bardoux, Agennor Bardoux).

Mengapa dinasti politik menjadi praktek politik yang biasa saja tak hanya di Amerika Serikar, tapi juga di benua Eropa, Asia dan Amerika Latin?

Menurut Denny, negara modern dibangun berdasarkan prinsip konstitusi, hak asasi manusia, demokrasi dan juga etika politik.

Setiap warga negara tak bisa dikurangi haknya berpolitik semata karena ia keluarga dari penguasa. Ini prinsip hak asasi manusia. Ia berlaku universal.

Setiap warga negara juga harus diberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ini prinsip demokrasi. Ia juga berlaku universal.

Hak warga negara itu tak bisa dihapus semata karena ia anak atau menantu atau istri atau keluarga besar dari Presiden yang berkuasa. Atau dari kepala daerah yang berkuasa.

Bahkan dalam konstitusi Indonesia, tertulis dengan jelas dalam konstitusi pasal 28 D ayat 3: “Setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Tak ada satu pasal pun dalam konstitusi, atau dalam undang undang yang lebih rendah menyatakan perkecualian. Tak ada bunyi: anak dan menantu presiden dilarang maju menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota anggota DPR, DPRD, dan sebagainya.

Toh, di ujung pemilihan, adalah rakyat banyak penentu kemenangan.  Apakah mereka memilih keluarga pejabat, itu sudah sepenuhnya hak rakyat. Itu sudah sepenuhnya pertarungan kampanye.

Dalam pilkada 2020, anak dan menantu Jokowi menang. Di tahun yang sama, anak Wapres Ma’ruf Amin kalah di Tangsel.

Jangankan keluarga presiden atau wapres. Bahkan presiden yang sedang berkuasa pun belum tentu menang jika maju. Megawati misalnya, presiden yang sedang berkuasa, kalah di tahun 2004.

Tak ada yang salah dengan anak dan menantu Jokowi berpolitik. Bahkan keluarga presiden Indonesia sebelumnya juga memiliki tradisi politik pemilihan.

Soekarno diteruskan oleh Megawati (Presiden) dan Puan Maharani (Ketua DPR). SBY diteruskan oleh Ibas (Edhie Baskoro) sebagai anggota DPR. Juga dilanjutkan oleh Agus Harimurti yang kini ketum Demokrat, dan pernah maju sebagai Kandidat Gubernur DKI Jakarta.

Juga Suharto dilanjutkan oleh Tommy Suharto dengan mendirikan Partai Berkarya yang juga bertarung dalam pemilu.

Bagaimana dengan etika politik? Adakah ketentuan dalam etika politik atau etika pada umumnya yang melarang keluarga pejabat berpolitik? tanya Denny.

Sesuatu itu menjadi etis, menjadi benar dan salah, boleh atau tidak, baik atau buruk, tergantung dari norma tertinggi. Jika ia menentang norma tertinggi, ia salah. Jika ia sesuai dengan norma tertinggi, ia benar.

Yang legal adalah yang etikal ! Jika tak dilarang oleh hukum positif. Jika tak dilarang oleh kode etik yang disepakati. Itu boleh belaka. Sah. Baik. Bermoral.

Tak bisa aliran etika tak tertulis itu digunakan untuk menghujat Gibran atau Bobby, atau siapa saja keluarga pejabat, yang hak berpolitiknya dijamin konstitusi, hak asasi, prinsip demokrasi, teori dan praktek.
Bagaimana jika penguasa menyalah gunakan kekuasaan untuk memenangkan anak dan menantu? Itu topik yang sudah berbeda.

Tapi penyalah gunaan kekuasaan itu salah untuk semua kasus. Tak ada keistimewaan untuk keluarga presiden.

“Itu sebabnya mengapa dinasti politik adalah bunga yang bisa saja tumbuh di taman demokrasi. Anak gaul bilang, itu Biasa,”ungkap Denny

*: Redaktur Senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *