Drama Novel Baswedan & Budi Gunawan

Oleh : Mabroer MS (*

DUA nama itu memang sempat menjadi tranding topic pada tahun 2015. Kala itu, Komjen Pol Budi Gunawan yang pernah jadi ajudan Megawati sejak Wapres hingga Presiden RI (2001-2004) itu harus gigit jari karena pencalonannya sebagai Kapolri terpaksa ditarik kembali oleh Presiden Jokowi pada Rabu, 18 Februari 2015 dan digantikan Komjen Pol Badrodin Haiti.

Pembatalan itu dilakukan karena KPK di bawah pimpinan Abraham Samad tiba-tiba menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus ‘Polisi Gendut’. Dan, Novel Baswedan merupakan salah satu tim penyidik yang telah menelisik kasus teman dekatnya Megawati itu sejak Juni 2010 dan lima tahun kemudian, 12 Januari 2015 calon Kapolri itu pun ditetapkan sebagai tersangka.

Drama panas itu menjadi salah satu episode kiprah KPK yang menyedok perhatian publik, kendati akhirnya nasib Budi Gunawan terselamatkan dan masih bisa menjadi Wakapolri era Badrodin Haiti. Karir Jendral Polisi kelahiran Surakarta 1959 itu pun tetap moncer dan diangkat nenjadi Kepala BIN sejak 9 September 2016 menggantikan Sutiyoso dari TNI AD.

Berbagai rumor jabatan pernah menghampiri lulusan Akpol ’83 itu, termasuk jabatan di Kabinet Jokowi periode kedua, namun raib bersama kisah peran strategisnya melakukan “rekonsiliasi politik” antara Prabowo vs Jokowi bersama Megawati pasca-Pilpres 2019.

Bahkan dalam Kongres PDIP di Bali Agustus 2019 itu pun nama Budi Gunawan sempat diisyukan bakal memperkuat barisan di internal PDIP, namun mantan Kapolda Bali Tahun 2012 itu pun tetap menempati posnya di BIN hingga saat ini.

Membincang Budi Gunawan, rasanya tak bisa lepas dari  Novel Baswedan. Nama penyidik senior KPK itu kembali mencuat karena penggrebekan mantan Sekretaris MA, Nurhadi. Semula, penangkapan itu dianggap sebagai prestasi pimpinan KPK yang baru karena berhasil menjawab keraguan publik, namun “prestasi” itu tiba-tiba dihapus Bambang Widjojanto (BW). Secara mengejutkan, BW yang juga anggota TGUP (Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan) Gubernur DKI Anies Baswedan itu membuka tabir bahwa sebetulnya di balik kesuksesan penangkapan Nurhadi itu ada Novel Baswedan. Tentu, kabar BW ini mengejutkan publik karena selama ini Novel telah dipersepsikan sebagai “duri dalam daging” bagi kepimpinan Komjen. Pol. Drs. Firli Bahuri, M.Si di KPK sehingga tak mungkin diberi peran.

Apalagi BW selama ini juga menjadi salah satu bagian dari para aktivis anti korupsi yang menolak kepemimpinan Firli cs karena dianggap menjadi simbol pelemahan KPK. Bahkan secara lantang, ICW pun sejak awal sudah meragukan komitmen Filri dalam mengibarkan bendera peperangan terhadap korupsi.

Rumor pun makin liar karena munculnya desakan agar KPK mengurai secara terbuka berbagai pihak yang terlibat dalam kasus Nurhadi. Bahkan, Ketua Umum GPBB (Gerakan Pemuda Pembaharu Bangsa) Abraham pun meminta agar KPK secara terbuka mengurai keterangan Nurhadi yang dianggap sempat menyebut nama seseorang berinisial BG. Siapakah gerangan BG yang dimaksudkan? Wallahu’alam. Oleh banyak kalangan, Nurhadi ditengarai sebagai “orang penting” di negeri ini karena koneksinya yang lintas batas sehingga nyaris dianggap kebal hukum.

Namun, semua asumsi itu akhirnya runtuh karena aksi penangkapan yang dinahkodai Novel Baswedan. Terlepas dari berbagai rumor yang berkembang, ada satu soal yang sering mengganggu logika publik, “Apakah penangkapan yang dilakukan Novel bersama timnya  itu atas sepengetahuan pimpinan KPK ataukah tidak?” Tentu, secara normatif jawabannya ya “sepengetahuan” karena Novel adalah anak buah mereka. Tapi, asumsi lain juga bisa berkembang karena memang setiap kasus besar selalu penuh misteri.

Di tengah keterkejutan itulah tiba-tiba publik juga disuguhi drama lain yang menyangkut Novel Baswedan. Dalam persidangan pekan lalu, dua oknum polisi penyerang Novel (Rahmat Kadir Mahulette & Ronny Bugis) hanya dituntut 1 tahun penjara. Laksana bara disiram bensin, reaksi keras pun bermunculan bahkan komedian muda Bintang Emon yang bernama lengkap Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra (24) itu sempat jadi viral karena komentar kritisnya terhadap tuntutan jaksa Fedrik Adhar tersebut.

Di samping Bintang Emon, sejumlah tokoh juga ikut menyoal seperti Said Didu, Rocky Gerung, Refly Harun, Bambang Widjojanto, Adi Masardi serta tokoh lain. Para tokoh yang juga dikenal sebagai barisan ‘02’ itu juga membentuk “New KPK” (Kawanan Pencari Keadilan) dan mendesak agar hakim justru membebaskan terdakwa Rahmat Kadir & Ronny Bugis karena keduanya dianggap bukan pelaku penyiraman yang sebenarnya.

Tampaknya, KPK yang sudah memasuki usia ke 18 tahun ini masih akan diselimuti berbagai cerita misteri karena belum berhasil menegakkan ‘tongkat komando’ sebagai Pembasmi Pandemi Korupsi (PPK) sebagaimana diamanatkan para pejuang reformasi 1998. Dari satu periode ke periode berikutnya, ruang KPK masih sering didera konflik interest antar lembaga, seperti kepolisian dan Kejaksaan karena keduanya merupakan sumber utama rekrutmen para penyidik KPK. Bahkan, sejak 2009 KPK telah mulai dihantam kasus “Cicak-Buaya” yang melibatkan Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duaji. Dalam tragedi “Cicak-Buaya” jilid pertama ini banyak persoalan dipersepsikan sebagai kriminalisasi sejumlah pimpinan KPK seperti kasus Antasari Azhar dengan kisah BLBI-nya yang akhirnya dijadikan pesakitan karena dianggap terbukti membunuh Nasrudin Zulkarnaen (direktur PT Putra Rajawali Banjaran) karena cinta segitiga hingga sangkaan penyalahgunaan wewenang oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, kendati akhirnya tak terbukti.

Selain sibuk menghadapi konflik interest dengan lembaga penegak hukum lain, KPK juga berjibaku dengan berbagai kasus besar yang nyaris tak pernah tuntas diusut. Bahkan drama “Cicak-Buaya” juga masih berlanjut hingga tahun 2015 silam.

Melihat drama yang selalu menyandra KPK dalam memberantas korupsi, rasanya publik mulai ‘hopeless’ bahwa Panglima Perang yang lahir dari rahim Reformasi 1998 itu bisa mengakhiri Pandemi korupsi. Meski usia reformasi telah memasuki tahun ke 22 tahun, namun tanda-tanda Pandemi Korupsi ini bukan semakin mereda, malah sebaliknya. Bahkan, musibah Pandemi Corona pun ditengarai mengundang syahwat kejahatan “extra ordinary crimes” itu.

Buktinya, Presiden Jokowi tak segan-segan memerintahkan agar ‘menggigit’ dengan keras jika ada yang berani main-main dengan dana Corona Rp 677 triliun itu. Jika melihat realitas di lapangan, rasanya rakyat sudah putus harapan bahwa korupsi bisa diberantas tuntas, meski pemerintah telah menyiapkan sapu pembersihnya.

Apalagi kalau adagium lama itu terbukti bahwa sapunya masih banyak yang kotor. Barangkali gagasan mantan Ketua MK Prof DR Mahfud MD tentang ‘UU Lustrasi’ seperti yang diterapkan di Latvia atau Cina itu layak direnungkan. Dalam konsep lustrasi ada konsep Potong Generasi bagi para pejabat negara yang ‘ramah korupsi’ itu diganti dengan pejabat baru yang masih bersih. Jika kelak masih korupsi, maka akan dihukum berat seperti hukuman mati sebagaimana Cina telah menghukum mati tak kurang dari 4.800 pejabat negara.

Model kedua adalah amputasi atau pemutihan yakni ada Undang-Undang yang mengatur bahwa korupsi yang dilakukan oleh pejabat pada periode tertentu itu diputihkan dengan catatan, jika melakukan hal serupa akan dihukum sangat berat.

Menurut Mahfud MD, seperti dikutip berbagai media pada 5 April 2010, ketika dirinya jadi Menteri Kehakiman era Gus Dur 2001 itu sudah merancang UU Lustrasi dan UU Pemutihan, namun gagasan besar itu akhirnya kandas di tengah jalan karena Gus Dur keburu dilengserkan. Mungkinkah gagasan itu dihidupkan kembali? ###

Penulis: Aktivis Nahdliyyin  di Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *