G 30 S/PKI: Ketika Rekonsiliasi masih Dibayangi “Dendam Politik”

Oleh: AAdib Hambali (*

SEJAK dalu, isu Partai Komunis Indonesia (PKI) mencuat pada bulan September, mengingat pada bulan tersebut terjadi gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh PKI.

Isu bergulir dengan narasi, saat ini telah terjadi ancaman serius bangkitnya kekuatan PKI. Para kadernya digambarkan sedang menyusup ke lembaga-lembaga strategis di lingkungan pemerintahan, ormas, atau lembaga penting lainnya.

Ideologi komunis sendiri sudah runtuh di dunia. Perang Dingin telah berakhir dengan kemenangan Amerika Serikat dan sekutunya. Uni Soviet sebagai negara pengusung komunisme sudah bubar dan wilayahnya terpecah dalam banyak negara. China secara resmi menganut negara satu partai dengan ideologi komunis, namun sektor ekonominya menganut kapitalisme negara.  Kini, tinggal beberapa saja yang tetap setia dengan komunisme, tetapi situasinya sangat memprihatinkan. Salah satunya adalah Korea Utara. Komunisme terbukti gagal dalam mewujudkan impian berupa masyarakat tanpa kelas yang sejahtera. Komunisme identik dengan negara tertutup, otoriter, dan terbelakang, yang tidak lagi senapas dengan perkembangan zaman yang menuntut kesejahteraan dan kebebasan.

Akibatnya, ideologi ini tidak lagi populer. Negara yang masih mempertahankan ideologi itu sebenarnya lebih karena ambisi kelompok berkuasa untuk terus bertahan.  Kecurigaan atas kebangkitan PKI dihembuskan kelompok tertentu dan kemudian digunakan untuk menuduh orang-orang yang secara politik tidak disukai dengan cap PKI.

Siapa saja bisa diberi label seperti itu. Tuduhan tersebut juga pernah dialamatkan kepada Joko Widodo dan ramai diperbincangkan pada masa kampanye. Banyak kasus serupa di masyarakat meski tidak semua mencuat ke publik.

Pada masa Orde Baru, orang-orang yang sebelumnya diidentifikasi sebagai PKI dan para keturunannya diberi identitas khusus. KTP-nya diberi keterangan tambahan ET (Eks-tapol) Mereka tidak dapat menjadi pegawai negeri atau anggota TNI dan Polri. Secara sosial mereka terus dihukum dengan stigma-stigma negatif sekalipun pemberontakan tersebut sudah selesai puluhan tahun sebelumnya.

Para keturunan PKI yang tak tahu apa-apa ikut menjadi korban.  Pemerintah Orde Baru berdalih supaya para keturunan PKI tidak bangkit lagi untuk memberontak sebagaimana terjadi beberapa kali sebelumnya.

Karena itu, mereka mesti diawasi dengan ketat. Masyarakat menerima saja aturan seperti itu karena selalu ditunjukkan kekejaman PKI di masa lalu yang telah melakukan pemberontakan selama dua kali.

Rujuk Kultural

Persoalan terbesar terkait dengan PKI adalah bagaimana melakukan rekonsiliasi dengan baik. Jangan sampai terus-menerus merawat permusuhan yang mengakibatkan generasi baru yang tidak mengetahui apa-apa menjadi korban. Mereka merupakan bagian dari bangsa ini yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang lain.

Nahdlatul Ulama (NU) memiliki hubungan kelam dengan PKI ketika banyak kiai yang dibunuh dalam pemberontakan Madiun 1948. Periode 1960 awal berisi tentang provokasi-provokasi yang dilakukan oleh PKI terhadap para kiai yang menyebabkan terjadinya ketegangan di tingkat akar rumput.

Hal tersebut akhirnya meletus pasca-Gerakan 30 September 1965. Namun, usai periode gelap tersebut, para kiai NU melakukan upaya rekonsiliasi (islah) secara kultural dengan mendidik anak-anak eks-PKI di berbagai pesantren. (NUOnline,27/9/2020). Mereka akhirnya menjadi Muslim yang baik. Inilah proses rekonsiliasi yang memberi hasil yang nyata.

Peristiwa yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih ini, dan terus diulang-ulang narasinya menunjukkan bahwa hal ini belum sepenuhnya selesai.

Karena itu penting untuk mendidik publik tentang sejarah masa kelam perjalanan bangsa Indonesia tersebut secara lebih komprehensif dan menjadikan pelajaran agar tidak terulang kembali di masa depan.

Hal ini untuk menjadikan kita sebagai bangsa yang lebih kuat dan kokoh sembari memastikan bahwa proses rekonsiliasi yang telah berlangsung secara alamiah ini tidak diganggu oleh ulah segelintir orang yang ingin menggunakan isu-isu komunisme sebagai bahan jualan politik.

Mahkamah Konstitusi (MK)  memutuskan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak berlaku.

Dengan keputusan MK, mereka yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (eks PKI), dikembalikan hak konstitusionalnya, dan diperbolehkan menjadi calon legislatif (caleg).

Putusan itu tepat karena mengembalikan hak warga negara dari para tahanan politik (tapol) yang dirampas rezim orde baru. Hal itu disebut sebut sebagai proses rekonsiliasi struktural sehingga hukum bisa membantu memulihkan upaya rujuk nasional itu, setelah islah kultural terus bergulir.

Tentu saja tidak semata dari hukum. Rekonsiliasi mesti terjadi dari dalam hati ke hati. Yang terpenting menghilangkan ”dendam” politik akibat perjalanan sejarah di era 1960-an itu. Namun perlu tetap jujur pada sejarah. Jangan seakan akan mereka tidak bersalah serta menghilangkan peristiwa pemberontakan.

Adalah Ketua Paguyuban Korban Orde Baru, Ribka Tjiptaning Proletariyati saat itu yang menilai keputusan MK terlambat. Penulis buku ‘Aku Bangga Menjadi Anak PKI’ itu menegaskan yang terpenting mencabut Tap MPRS XXV/Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan partai Terlarang di Indonesia. Kesan yang muncul, rekonsiliasi yang terkandung di balik putusan MK itu masih belum diterima sepenuh hati.

Akibatnya, letupan pun sering muncul dalam momentum tertentu. Misalnya, memanfaatkan momentum pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Tudingan pun dialamatkan pada anak anak PKI yang berulah. Lagi lagi masih terkait dengan TAP MPR tentang pembubaran dan larangan PKI di Indonesia. Artinya rekonsiliasi masih dibayangi “dendam politik.” (*)

-Penulis: Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *