Guru Honorer, Nasibmu !

Oleh : A Adib Hambali (*)

HARI ini, Rabu, 25 November 2020, adalah Hari Guru Nasional (HGN). Setiap memperingati harinya orang-orang hebat yang disebut “Pahlawan Tanda Jasa” ini tentu perlu merefleksi keberadaan salah satu kelompok yang disebut guru honorer dan kontrak.

Pasalnya sejumlah masalah masih melilit guru honorer ini. Misalnya soal kesejahteraan, dan statusnya yang perlu mendapat perhatian.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),Retno Listyarti, menyampakan hasil survei soal gaji guru honorer di sejumlah daerah pada 2020. Gaji guru honorer per bulan besarannya  antara Rp 600.000 sampai Rp 4,2 juta. Itu tergantung pada kemampuan daerah dan sekolah.

Kalau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) suatu daerah besar, maka APBD dapat dialokasikan untuk memberikan gaji layak untuk guru-guru honorer di daerah itu. Misalnya, guru honorer atau KKI pada sekolah sekolah-negeri di DKI Jakarta mendapatkan gaji sebesar UMR, yaitu Rp 4,2 juta per bulan.

Para guru honorer se-Jawa Barat menggelar demonstrasi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, menuntut Gubernur memberlakukan UMP/UMK bagi penghasilan mereka, Senin (31/10/2016).

“Saat ini mereka hanya menerima upah sekitar Rp 300.000 per bulan yang sangat sulit memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga, terlebih dalam kondisi harga kebutuhan pokok saat ini,”ungkap Retno.

Adapun kota/kabupaten lain besaran gaji guru honorer sangat variatif. Misalnya, Kota Tangerang Selatan (Banten), Lombok (NTB), dan Kabupaten Lumajang (Jawa Timur) besaran gaji guru honorernya hanya Rp 600.000-Rp 900.000. Adapun di Kabupaten Kepulauan Tanibar (Maluku), kota Jambi dan Kabupaten Bogor besaran gaji guru honorer Rp 1 juta-Rp 2 juta.

Masih dari survei FSGI, Para guru SMA/SMK di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya gaji guru honorer tercatat Rp 2 juta lebih. Sekolah swasta level menengah di DKI Jakarta mampu membayar para guru honornya Rp 3,3 juta.

Bagi Retno, Menggaji guru honorer secara layak membutuhkan kebijakan lintas tiga kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selanjutnya, kementerian-kementerian terkait akan terus berkoordinasi agar hak para guru honorer bisa dipenuhi, yaitu dapat hidup layak bersama keluarga dan ada perlindungan negara ketika mengalami PHK sepihak.

Perburuhan

Harus diakui bahwa peran guru honorer atau kontrak  dalam penyelenggaraan pendidikan sangat strategis, karena banyak wilayah masih mengalami kekurangan guru, tetapi pemerintah tak punya cukup anggaran untuk mengangkat menjadi guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Di sejumlah daerah, rasio guru-murid masih di bawah standard yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri.

Solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, guru honorer bisa belasan tahun menjadi guru kontrak.

“Bahkan, guru honorer bisa belasan tahun menjadi guru kontrak,”ungkap Retno.

Sistem perburuhan itu selama ini ditentang oleh para buruh dalam dunia industri, karena dalam sistem kontrak berjangka, pemberi kerja tidak perlu menanggung beban jangka panjang yang melekat pada pegawai tetap. Mereka bisa memutus kontrak ketika masanya sudah berakhir. Kasus guru honorer yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) oleh yayasan pemberi kerja kerap tidak jelas alasan PHK-nya dan mereka hanya mendapatkan pesangon 1-3 bulan gaji yang jumlahnya tidak seberapa, karena gaji kecil.

Ironisnya, sistem ini justru dijalankan pemerintah, di dunia pendidikan memakai sistem perburuhan. Akibatnya, ketika ada sengketa antara guru dengan pihak pemberi kerja, seperti pihak yayasan, penyelesaiannya tidak menggunakan Undang-Undang (UU) No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, namun menggunakan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketika guru di PHK sepihak atau dipecat, pihak yayasan kerap kali tidak memberikan pesangon sesuai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, ketika kontrak kerja dilakukan dengan pemerintah daerah, maka penyelesaiannya pun sulit karena menggunakan UU Ketenagakerjaan.

Retno pun menyontohkan gugatan kepada pihak pemberi kerja oleh 116 guru dari Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren di Indramayu (Jawa Barat), dengan didampingi LBH Bandung para guru tersebut berhasil memenangkan gugatan hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, putusan pengadilan yang memerintahkan pembayaran pesangon para penggugat sulit dieksekusi, bahkan Kantor Agama Kabupaten Indramayu pun tidak mampu menjadi mediator apalagi pengawas terhadap kasus PHK besar-besaran ini.(Kompas, 23/11/2020).

Ketika guru mengadu, tidak diberikan solusi. Juga tidak ada keberanian pemerintah mengingatkan pihak yayasan bahwa Kanwil Kemenag dapat mencabut izin yayasan pendidikan yang melanggar hukum dan tidak mematuhi putusan pengadilan.

Terhitung sejak putusan MA ikrah tahun 2019, hingga akhir 2020 ke-116 guru tersebut belum mendapatkan hak-haknya. Kasus yang menimpa 116 guru itu membuktikan betapa lemahnya posisi para guru honorer/guru kontrak ketika bersengketa dengan pihak yayasan. Padahal para guru tersebut sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun di Ponpes tersebut.

Menurut Retno, Pemerintah bisa menutup paksa yayasan atau tidak memberi izin operasional jika melanggar hukum dan tidak mematuhi putusan pengadilan. Jadi, dikunci saja melalui akreditasi dan izin operasional dengan SPTJM, dan wajib memberi kompensasi dengan cara tersebut.

“Agar guru terlindungi walau dikontrak setiap tahun maka managemen yayasan harus diperbaiki,”saran Retno.(*).

*Redaktur Senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *