Hakordia 2018, Mengurai Benang Kusut Korupsi

Oleh : AAdib Hambali (*)

MEMPERINGATI Hari Anti Korupsi se Dunia 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mencoba mengurai dari pelaksaan demokrasi di Tanah Air.
Mengatasi
korupsi ini sudah ruwet. Ibarat mengurai benang kusut, lembaga antirasuah ini memulai dari sistem demokrasi kita dalam pemilihan bupati dan wali kota.

“Hari pertama bapak ibu jadi Bupati atau wali kota, pasti sudah kucing-kucingan main akrobat, supaya tidak ditangkap KPK,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, kemarin.

Hal ini sangat memprihatinkan.
Menurutnya, gaji yang diterima tidak sesuai dengan ongkos politik yang diperlukan untuk menjadi bupati atau wali kota, karena hanya sekitar Rp 5,1 juta sampai Rp 5,8 juta.

Padahal kajian Menteri Dalam Negeri, menurut Agus, untuk menjadi bupati atau wali kota itu minimal membutuhkan dana Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Ini disebut politik biaya tinggi.

Di legislatif, 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 menjadi tersangka kasus suap APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015.
( Rabu, 9 Agustus 2017).

Jumlah tersangka kasus suap APBD-P Kota Malang ini mengalahkan kasus suap APBD Pemprov Sumut yang menjerat 38 anggota DPRD Kota Sumatera Utara periode 2009-2014.

Politik berbiaya tinggi biasanya dimulai dari perhelatan demokrasi seperti pileg, pilkada. Pada kontestasi pileg, politikus harus menggelontorkan biaya besar, misalnya untuk kampanye.

Selain politik berbiaya tinggi, korupsi massal di parlemen terjadi karena politikus tidak jera terhadap sanksi hukum.

Catatan ICW sejak awal berdiri, KPK sudah menjerat 264 politikus penyelenggara negara jadi tersangka kasus korupsi.

Seluruhnya berakhir jadi penghuni penjara karena di persidangan terbukti melakukan tindak korupsi. Rinciannya, 100 kepala daerah dan 164 anggota DPR/DPD/DPRD.

Realitasnya kontestasi pemilu di Indonesia nyaris tidak pernah sepi. Mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK sejauh ini.

Sebagian politisi juga meyakini, berjuang merebut posisi anggota dewan menjanjikan kursi kekuasaan. Kendati untuk menjadi anggota dewan memerlukan modal dan risiko besar, mereka percaya probabilitas tertangkap oleh KPK masih jauh lebih kecil dibandingkan peluang keberhasilan.

Hal ini bukan aneh. Pasalnya, semua posisi di dalam struktur lembaga negara dari mulai lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif diisi oleh kader partai politik. DPR sebagai institusi kader partai politik juga ikut melakukan fit and proper test dalam pemilihan kepala lembaga fungsional negara seperti Gubernur Bank Indonesia, Dirut BUMN, Ketua KPK, KY, MK, MA sampai Kapolri dan komisioner KPI.

Ini menunjukan begitu besar peranan parpol dalam sistem politik dan kenegaraan saat ini. Partai politik sebagai lembaga pencetak pejabat publik, posisinya sangat strategis dan menentukan.

Upaya penggalangan dana bisa melalui aktivitas “perburuan rente”. Lembaga negara seperti kementerian, BUMN, dan parlemen terkadang jadi  “sapi perah” oleh oknum kader partai dalam rangka menggalang dana politik. Biasanya, cara ini dilakukan dengan bermain proyek, mark-up pengadaan barang, sampai manipulasi anggaran.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) bercerita, salah satu pengeluaran yang besar yaitu harga surat rekomendasi yang dikeluarkan partai.

Untuk mendapatkan rekomendasi partai politik rata-rata Rp 5 miliar. Kadang-kadang perlu tiha rekomendasi sehingga perlu Rp15 miliar.
Dia berpengalaman untuk bisa mendukung calon sendiri mintanya Rp 200 miliar, ditawar Rp 50 miliar.

Dengan angka hitung-hitungan seperti itu, Bamsoet tak menampik pejabat bakal putar otak untuk mengembalikan uangnya. Di sini terjadilah celah korupsi untuk mendulang keuntungan kembali.

Karena itu ia menyarankan calon legislatif yang berlaga sedianya harus sudah memiliki dompet yang mapan. Jika tidak, dikhawatirkan akan muncul sebagai bibit korupsi di tubuh eksekutif maupun legislatif.

Agus menawarkan solusi dengan menaikkan gaji bupati dan wali kota untuk menghindari korupsi karena politik biaya tinggi.

Bamsoet pun mewacanakan pembahasan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh legislatif tingkat daerah. Sekarang sudah melihat manfaat dan mudaratnya. Apakah kita teruskan dan hentikan. Apakah kita teruskan atau kembalikan ke DPRD,” kata Bamsoet dalam sebuah diskusi du Jakarta Pusat, Minggu (25/11).

Dia sudah memprediksi bakal ada banyak pihak yang menentang wacana tersebut. Namun,  pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD adalah sesuai amanat konstitusi.

Mereka juga pasti akan mengatakan,  mengembalikan keterwakilan dengan mencabut hak rakyat. Sebetulnya tidak, rakyat sudah memilih anggota DPRD masing-masing.

Langkah ini bisa menekan dari segi biaya dan psikis bangsa. Sejauh ini, kompetisi dua calon kepala daerah sangat mempengaruhi perilaku masyarat dalam menanggapi perbedaan pilihan.

Tidak sedikit masyarakat kerap bergesekan gara-gara perbedaan pilihan. Banyak yang head to head berdampak dengan akar rumput gesekan makin menguat makin keras.

Selanjutnya, opsi kedua Bamsoet menyarankan ada pemilihan dengan sistem elektronik atau e-voting. (*)

Penulis : Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *