Hoax dan Tudingan Mendelegitimasi Pemilu 2019

oleh A Adib Hambali (*

MENDEKATI hari coblosan atau pemungutan suara 17 April 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai penyelenggara pemilu, lembaga itu bertubi-tubi mendapat serangan. Tudingan myncul, langkah itu sebagai upaya mendelegitimasi terhadap peran penyelenggaraan Pemilu.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyindir tudingan itu, pencoblosan dan penghitungan resmi saja belum ada, namun sudah diketahui ada pencoblosan.

Kemendagri masih menunggu penjelasan resmi tim dari KPU di Malaysia sehubungan dengan kabar pencoblosan surat suara salah satu pasangan calon capres-cawapres dan caleg yang terjadi di Malaysia.

Hal itu dikatakan terkait isu telah dicoblos surat suara salah satu paslon dan caleg di Malaysia, Kamis (11/04/2019).

Ia juga meminta agar masyarakat bersabar dan menunggu hasil kerja Tim KPU untuk mengetahui fakta sebenarnya serta kronologi yang terjadi di Malaysia.

Tjahjo berharap masyarakat juga hati-hati menyikapi informasi yang belum tentu benar, agar tidak menimbulkan spekulasi. Percayakan kepada KPU untuk mengecek langsung di lapangan fakta dan kronologisnya.

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono langsung bereaksi,  hasil itu harus dibatalkan dan ditangkap oknum di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia karena diduga sudah membuat kecurangan yang massive terkait kartu suara yang dicoblos untuk salah satu paslon dan caleg.

“Saya ingatkan ya perlu menjaga pemilu yang bersih, jika tidak itu bisa memicu kerusuhan sosial di Indonesia.”

Akal sehat bisa membedakan mana kebohongan yang diproduksi menjadi kebenaran, dan mana kebenaran yang dipojokkan hingga dianggap salah.

Kesaksian Mantan Ketua KPU 2016-2017 Juri Ardianto akan membantu melihat secara jeli siapa yang menjadi produsen hoax dan siapa yang teguh menjaga kejujuran.

Juri Ardiantoro, yang pernah menjadi Ketua KPU RI 2016-2017 dan pengalaman puluhan tahun sebagai praktisi pemilu mencatat, pada Pemilu 2019 ini serangan ke KPU sangat berat dan dilakukan secara sistematis.

Upaya mendelegitimasi paling mutakhir adalah informasi yang diviralkan video “penggerebekan” pencoblosan surat suara ilegal yang seolah-olah untuk memenangkan salah datu pasangan capres-cawapres, dan calon dari anggota DPR RI dari Partai Nasdem di sebuah ruko di Selangor Malaysia.

Meski banyak kejanggalan yang dapat dilihat dari video tersebut dan belum ada investigasi secara mendalam dari pihak yang berkompeten, masyarakat sudah digiring untuk mempersepsi bahwa penyelenggara pemilu sudah melakukan kecurangan.

Peristiwa serupa sebelumnya juga terkait dengan kekagetan semua pihak dengan informasi dan diviralkan ada tujuh kontainer berisi 70 juta surat suara dari China yang telah tercoblos yang pada saat itu, surat suara saja belum diproduksi oleh KPU.

Kejadian lain yang serupa juga dimunculkan dengan video pencoblosan dini di Medan yang diframing sebagai kecurangan. Padahal peristiwa yang diviralkan itu adalah kejadian Pilkada Medan tahun 2015.

Pada hari-hari ini juga muncul akun di medsos yang mengaku mendapatkan informasi pentig tentang kecurangan Pemilu 2014 yang disimpan dalam flashdisk almarhum Husni Kamil Manik Ketua KPU saat itu

Juri yang juga pernah menjadi Ketua KPU Provinsi DKI dua periode ini menilai bahwa kejadian ini menyambung serangkaian peristiwa sebelumnya yang mengarah pada serangan serius dan berbahaya sebagai upaya sistemik mendelegiitiasi penyelenggara pemilu, seperti pem-bully-an kepada KPU saat memutuskan menggunakan kotak suara yang terbuat dari bahan karton kedap air dengan dikatakan “kotak suara kardus”, padahal kotak serupa sudah dipakai sejak Pemilu 2014 dan berlanjut pada Pilkada tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018.

KPU juga baru-baru ini diserang dengan pernyataan Amien Rais di akhir Maret 2019 yang mengkampanyekan dan mendorong munculnya people power jika terjadi kecurangan untuk memperotes hasil pemilu.

“Pemilu saja belum berlanmgsung, bagaimana Amin Rais tahu ada kecurangan-kecurangan?”tanya Juri.

Tuduhan heboh selanjutnya yaitu video yang penjelasan salah satu tim rival yang mengklaim bahwa KPU sudah menyeting server KPU dengan mematok kemenangan pasangan #01 sebesar 57 persen. Mereka lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa hasil resmi yang akan menjadi dasar KPU menetapkan hasil pemilu adalah Hasil yang dihitung secara “manual dan berjenjang/bertingkat”, disaksikan semua pihak dan pindai (scan) dan di-upload form C1, sebuah formulir perolehan suara paling otentik.

Baru-baru ini juga muncul sekelompok orang mengklaim telah menemukan sebanyak 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) dinilai bermasalah, yakni data pemilih yang dianggap janggal dan tidak wajar, yakni 17,5 juga pemilih dengan tanggal kelahiran 1 Januari, 1 Juli dan 31 Desember.

Sekilas masyarakat bisa terkecoh dengan maneuver ini, seolah ada akal-akalan pemerintah dalam merekayasa adminitrasi kependudukan untuk kepentingan pemilu.

Mereka tidak mau tahu dijelaskan bahwa ada peraturan yang berlaku sejak tahun 70an karena banyak WNI yang tidak mengetahui dan dikethui kapan tanggal lahirnya, maka untuk kepentingan administrasi kependudukan, dibuatkan tanggal untuk mereka, yakni yang awalnya 31 Desember kemudian menjadi dua pilihan, yakni 1 Januari dan 1 Juli.

Data ini nyata dan dapat diverifikasi dan sudah dilakukan proses pemutakhiran lapangan (pencocokan dan penelitian) oleh petugas KPU saat mereka memasukan ke dalam Daftar pemilih (DPT).

Viral informasi hasil penghitungan suara di LN dengan kemenangan mutlak pasangan 02 baru-bari ini menambah kesesatan informasi. Informasi ini menyesatkan, karena pemungutan suara saja belum sebagaian saja dilaksanakan dari 130 negara perwakilan.

Sementara penghitungan suara, baru akan dihutung secara serentak dengan pemilu di dalam negeri tanggal 17 April 2019.

Kita semua tentu saja harus menolak upaya-upaya kecurangan yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk mencoblos secara ilegal untuk kemenangan salah satu kontestan.

Oleh karena itu harus kita dorong seluruh perangkat penyelenggara dan perangkat hukum untuk memproses dan menghukum siapa saja yang berupaya dan melakukan kecurangan.

Akan tetapi, jangan buru-buru membangun opini dan stigma bahwa penyelenggara pemilu memihak salahs atu kontestan, apalagi dikaitkan dengan kepentingan petahana.

Juri yang saat ini aktif sebagai Koordinator Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), sebuah organsiasi berhimpunnya para mantan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dan salah satu pendiri NETGRIT (network for democracy and electoral integrity) mensinyalir secara kuat adanya upaya-upaya berbahaya untuk mendelegitimasi penyelenggara KPU.

Sebagai mantan penyelenggara pemilu, dia memandang upaya-upaya sistemik seperti itu sangat berbahaya, bukan saja kepada konteks kontestasi yang adil tetapi juga membangun ketidakpercayan masyarakat.

Ujung dari upaya-upaya ini dikhawatirkan masyatakat akan mudah disulut untuk memprotes hasil pemilu dengan cara-cara di luar koridor hukum. Bahkan ada ancaman-ancaman akan ada chaos.

Sungguh suatu hal yang berbahaya bagi demorkasi dalam pemilu yang telah selama ini susah payah dibangun hanya untuk sekadar memuaskan kepantingan-kepentingan kekuasaan sekelompok orang.

Oleh karena itu, Juri menghimbau masyarakat untuk memberikan kepercayaan kepada penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu untuk berkerja professional, terbuka dan mandiri serta melawan setiap upaya sekelompok orang yang akan merusak proses pemilu ini, semata-mata demi pemilu yang berkualitas dan hasilnya kita akui sebagai prestasi bangsa.

*) Redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *