Kenapa Harus Investasi di Bank?

Oleh : A Adib Hambali (*

BOJONEGORO berlumur minyak. Sebutan itu bukan isapan jempol semata, dan memang daerah ini layak menyandang predikat “Kota Minyak.”

Lihat saja, besaran dana bagi hasil (DBH) Migas Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, 2020 ini diprediksi tembus, bahkan lebih dari Rp 2,6 triliun.

Anggota DPRD Bojonegoro, Lasuri
memprediksi lebih dibanding 2019, yaitu Rp 2,6 triliun. Sayangnya, di APBN 2020, baru dimasukkan sekitar Rp 954 miliar.

Artinya, sisanya bisa dimungkinkan masuk skema kurang bayar. (Detakpos, 7/10/2019).
Kemenkeu pun diharapkan memasukkan DBH migas tersebut ke APBD 2020, tidak pada perubahan anggaran, karena berpotensi menjadi Sisa lebih anggaran (Silpa), lantaran kecil kemungkinan bisa terserap.

Sebaiknya skema yang dijalankan ini diubah. Kalau besar di P-APBD tidak akan bisa terserap karena sangat sempit waktunya, sehingga terus nandon dana atau menjadi Silpa.

Kejadian itu bisa seperti tahun 2018 mbendol (besar di belakang). Skema tidak normal, karena akan jadi Silpa pada akhirnya.

Perolehan DBH migas 2019 di dalam APBN 2019 Rp2.6 triliun, berpengaruh besar pada kekuagan APBD 2019, mencapai Rp 4,5 triliun.(Detakpos, Kamis (1/11/2018),

Simak saja, Silpa Bojonegoro, tahun 2018 mencapai Rp 2,1 trilliun lebih. Besarnya nilai Silpa tersebut karena ada tambahan dana DBH Migas triwulan empat.

Banyak lelang proyek yang belum selesai juga mempengaruhi jumlah Silpa. Apa lagi penyerapan rata-rata yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hanya berkisaran di 85 persen.(Detakpos 4- Januari 2019).

Kemudian ada dana APBD Rp 1,4 triliun nandon karena tidak bisa dibelanjakan Pemkab (Detakpos25/7/2019).

Ada kemungkinan perencaan anggaran tidak matang, sehingga tidak bisa dibelanjakan. Padahal banyak kebutuhan masyarakat yang perlu ditangani. (Detakpos,7/10/2019).

Menjelang tahun 2019, tepatnya pertengahan bulan Desember 2018, Pemkab Bojonegoro, mencatat serapan anggaran APBD baru sebesar 66 persen.

Menurut Wakil Ketua DPRD, Sukur Priyanto, anggaran dana di Pemkab yang nandon pada awal tahun 2019 memang cukup besar. Silpa tahun ini berkisaran lebih Rp 3 trilliun.

Pokok Pikiran (Pokir) 2019 yang sudah masuk dalam APBD dan Perubahan (P)-APBD, pun gagal terlaksana secara tuntas.(Detakpos Jumat (08/11/2019).

Plt Kepala Dinas Pendidikan, Kuzaini mengungkapkan tahun 2019, ada 245 paket proyek penunjukkan langsung yang merupakan pokir di Dinas Pendidikan.

Tetapi yang 102 proyek fisik tidak dapat dilaksanakan. Pokir yang tidak terlaksana tersebut pun dimasukkan dalam anggaran KUA PPAS APBD tahun 2020 dengan total anggaran Rp 18 milliar.

Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang, Nur Sujito dalam APBD induk tahun ini ada lima paket pokir tidak dapat terlaksana, dan dalam P-APBD ada 43 paket pokir yang tidak terlaksana.

Pihaknya sudah mengusulkan agar masuk dalam APBD tahun depan, dengan nilai anggaran mencapai Rp 10 milliar.

Penyertaan Modal

Diprediksi sejak awal, nandon dana melalui Silpa setiap tahun karena ada rencana untuk pernyartaan modal ke bank di Bojonegoro.

Meski sempat dibantah, akhirnya Pemkab Bojonegoro menyatakan pada tahun 2020 akan diinvestasikan anggaran dana Rp 2,7 trilliun lebih di bank.

Hal tersebut dijelaskan Tim Anggaran Pemkab kepada Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), (Detakpos, Jumat 08/11). Rencana itu disampaikan saat rapat pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS), APBD tahun 2020.(Detakpos Jumat 08/11/2019).

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Ibnu Soeyoeti mengungkapkan akan ada tiga bank yang akan menjadi tempat investasi anggaran dari Pemkab Bojonegoro dengan nilai berbeda.

Direncanakan jumlah investasi yang akan ditaruh di Bank BRI mencapai Rp 1,2 Trilliun, Bank Mandiri Rp 50 milliar, dan Bank Jatim mencapai 1,5 trilliun.
Anggaran dana untuk investasi tersebut bersumber dari anggaran idle cash. Yaitu anggaran yang tidak terpakai untuk pembangunan dan kegiatan lain. Termasuk Silpa APBD Bojonegoro.

Harapannya, investasi di perbankan untuk mendapat deviden yang bisa mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Fitra) melansir, kepala daerah, gubernur, wakil gubernur, bupati/wali kota dan wakil menerima tunjangan operasional setiap bulan. Besarnya biaya penunjang operasional ditetapkan berdasarkan klasifikasi PAD, yang diatur dalam
Pasal 9 ayat (1) dan (2) PP No. 109 tahun 2000.

Untuk PAD dibawah atau setara Rp 5 miliar, kepala daerah kabupaten/kota mendapat minimal Rp 125 juta dan maksimal 3 persen perbulan. Untuk PAD Rp 5 miliar s/d Rp 10 miliar, memperoleh minimal Rp 150 juta atau maksimal 2 persen.

Untuk PAD Rp 10 miliar s/d Rp 20 miliar, Kepala daerah Kabupaten/Kota mendapat kucuran minimal Rp 200 juta dan maksimal 1,50 persen setiap bulannya. Jika PAD Rp 20 miliar s/d Rp 50 miliar, Kepala daerah Kabupaten/Kota menerima minimal Rp 300 juta atau maksimal 0,80 persen.

Sementara, PAD di atas Rp 50 miliar – Rp 150 miliar, kepala daerah kabupaten/kota memperoleh minimal Rp 400 juta atau maksimal 0,40 persen dari PAD perbulan. Namun, jika PAD lebih dari Rp 150 miliar, maka Kepala daerah Kabupaten/Kota akan menerima minimal Rp 600 juta atau maksimal 0,15 persen dari PAD perbulan.

Yang menjadi pertanyaan, apakah itu menguntungkan dan bisa meningkatkan kesejahteraan warga dan rakyat Bojonegoro?

Bagaimana dengan komunitas Pedagang Kaki Lima Keliling (Kopling) yang terus menagih janji untuk mendapat pinjaman yang mudah, tentu juga komunitas yang lain yang ingin keluar dari himpitan ekonomi dan menjadi sejahtera.

Para pemangku kebijakan perlu mengkaji dengan seksama program tersebut, apakah menguntungkan rakyat, atau sekadar mendongkrak PAD, untuk mendapat operasional.

Tidak melanggar. Hanya masyarakat perlu diberi hak bicara agar segaris dengan anggota Dewan yang terhormat.

*)Penulis: Redaktur Senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *