Ketika Amerika Masuk Fase Krisis Sosial

Oleh : A Adib Hambali (*

COVID-19 adalah krisis yang berkepanjangan hingga vaksin ditemukan. Perlu waspada, setidaknya terhadap empat tahapan suatu negara dalam menghadapi wabah atau pandemi.

Tahap pertama, krisis kesehatan yang sekarang secara serentak melanda dunia termasuk Indonesia. Tahapan kedua, adalah krisis ekonomi. Beberapa negara sudah mulai masuk ke tahapan ini.

Tahap ketiga adalah krisis sosial. Amerika Serikat (AS) tampaknya sudah masuk dalam tahap ketiga yang dipicu oleh tewasnya warga negara AS kulit hitam oleh polisi yang menjadi triger mencuatnya isu pertikaian ras dan kerusuhan di hampir semua negara bagian AS. Tahap berikutnya atau tahap ke empat adalah krisis politik.

Situasi rusuh yang dialami AS sempat memantik mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menulis opini di Facebook.
“Ada kobaran api di Amerika. Ada kerusuhan dan penjarahan di banyak kota. Suasananya seperti “perang”. Puluhan ribu tentara yang ada di wilayah (national guard) sudah dikerahkan dan diterjunkan.

Ribuan pengunjuk rasa dan perusuh ditahan. Banyak pula kota yang memberlakukan jam malam,” begitu SBY memulai tulisannya.(VIVAnews, Kamis, 4 Juni 2020.).

Situasi tersebut membuat dunia tercengang. Apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa Amerika jadi begitu? Inilah pertanyaan yang muncul di banyak negara.

Ternyata, masyarakat internasional bukan hanya tercengang. Muncul pula protes-protes yang menunjukkan solidaritas terhadap komunitas kulit hitam Amerika itu.

“Kita saksikan, paling tidak terjadi di 14 kota besar di dunia, London, Paris, Berlin, Copenhagen, Milan, Dublin, Krakow, Perth, Sydney, Auckland, Christchurch, Vancouver, Toronto, dan Rio de Janeiro. Saya tidak ikut-ikutan tercengang. Cuma merenung. Dan mau bertanya sedikit “Are you ok, Amerika”? Yang bertanya begini mungkin banyak. Di seluruh dunia. Bukan hanya saya,” kata SBY yang mengaku tidak termasuk orang yang anti Amerika, atau anti Barat.

Adalah Ketua Umum Pengurus Besar PBNU KH Said Aqil Siroj menguak
kejadian kerusuhan rasial di (AS) dengan harapan menjadi bahan refleksi serius agar peristiwa serupa tidak terulang di negara mana pun.

Kampanye Hitam

Kiai Said menilai
terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45 telah menguak borok demokrasi Amerika yang selama ini tampil bak ‘polisi’ demokrasi dunia.

Kampanye ‘hitam’ Trump di musim kampanye Pilpres AS yang dinilai rasis menunjukkan sentimen negatif terhadap imigran kulit warna dan kaum Muslim, telah menabung “bara api” yang meledak dalam kerusuhan rasial sekarang.(Detakpos,Jumat (5/6/2020).

Demokrasi Amerika tengah sekarat karena menghasilkan pemimpin konservatif yang menyeret demokrasi ke titik anti-klimaks dengan retorika-retorika politik iliberal yang selama ini dimusuhinya.

Perubahan haluan yang drastis dari Presiden yang diusung Partai Demokrat (Obama) ke Presiden yang diusung Partai Republik (Trump) menunjukkan fondasi demokrasi Amerika tidak sekokoh seperti yang didengung dengungkan.

Diskriminasi rasial dan kesenjangan ekonomi telah menjadi cacat bawaan seperti telah disinggung oleh Gunnar Myrdal sejak 1944 dalam bukunya “An American Dilemma”.

“Demokrasi Amerika akan terus dihantui oleh pertarungan abadi antara ide persamaan hak dan prasangka rasial.” Keyakinan Myrdal bahwa pada akhirnya demokrasi akan menang atas rasisme tidak terbukti sampai sekarang.

Diskriminasi atas warga Afro-Amerika telah memicu kerusuhan rasial yang terus berulang hingga 11 kali dalam setengah abad sejak 1965.”

Keadilan, persamaan hak, pemerataan, dan perlakuan tanpa diskriminasi terhadap seluruh kelompok masyarakat merupakan nilai-nilai demokrasi yang gagal dicontohkan Amerika.

Standar ganda yang sering digunakan Amerika dalam isu HAM, perdagangan bebas, dan terorisme menunjukkan wajah bopeng demokrasi yang tidak patut ditiru.

NU memandang bahwa demokrasi masih merupakan sistem terbaik yang sejalan dengan konsep syûrâ di dalam Islam. Namun, NU menolak penyeragaman demokrasi liberal ala Amerika sebagai satu-satunya sistem terbaik untuk mengatur negara dan pemerintahan

Indonesia tidak perlu membebek Amerika dan negara manapun untuk membangun demokrasi yang selaras dengan jati diri dan karakter bangsa Indonesia.

Demokrasi yang perlu dibangun tetap harus berlandaskan pada prinsip musyawarah-mufakat dalam politik dan gotong royong dalam ekonomi.
Demokrasi yang sejalan dengan penguatan cita politik sebagai bangsa yang nasionalis-religius dan religius-nasionalis.*)

Penulis: Redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *