Ketika Covid-19 Jadi Pendemi “Ketakutan”

Oleh: A Adib Hambali (*

DALAM Kitab “Hilyatul Aulia” karya Abu Nu’aim Ashfani menceritakan  wabah di Kota Damaskus (Syiria). Dikisahkan, suatu masa muncul sekelompok makhluk Allah berupa wabah penyakit ganas akan masuk Kota Damaskus.

Dalam perjalanan menuju Kota Damaskus, mereka bertemu dengan seorang Wali Allah. Kemudian, terjadilah percakapan.   Waliyullah bertanya, “Mau ke mana kalian.” Wabah menjawab, “Kami diperintah Allah untuk memasuki Damaskus.”  Waliyullah bertanya lagi, “Berapa lama, dan berapa banyak korban?” Wabah pun menjawab, dua tahun dengan seribu korban meninggal.

Dua tahun kemudian, jumlah korban meninggal ternyata mencapai 50 ribu orang. Ketika Wali bertemu kembali dengan wabah penyakit ini pun bertanya, “Kenapa dalam dua tahun kalian memakan korban 50 ribu orang? Bukannya kalian janji hanya seribu orang meninggal?”   Wabah itu pun menjawab, “Kami memang diperintah Allah untuk merenggut seribu korban. Empat puluh sembilan ribu korban lainnya meninggal dikarenakan panik dan ketakutan.”  (NU.online,25/3/2020).

Kisah itu relevan dengan tiori kekinian. Raylis Sumitra, penulis Buku “Jokowi Digdaya Tanpa Aji & Politik Ngakak, Arief Poyuono” membenarkan,
“Ya, efek yang paling menjangkiti masyarakat dari fenomena Covid-19 adalah ketakutan dan kepanikan,”tulisnya dalam rilis yang beredar secara berantai.

Tentu tidak menafikan fakta medis Covid-19 yang sebaranya sudah menjadi pendemik dunia.

Virus yang awalnya di Wuhan, Provinsi Hubei – China ini, menurut catatan peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, per 3 April 2020, ada lima negara yang paling terpapar Covid-19, yaitu Amerika Serikat, rangking pertama (245,380 kasus), Spanyol (117, 710 kasus), Itali (115.242 kasus), Jerman (85. 263 kasus), dan China (81.620 kasus).

Di Tanah Air, per 5 April 2020 pukul 12.00 WIB, tercatat sebanyak 2.273 kasus positif Covid-19 dengan rincian sembuh 164 orang dan 198 meninggal dunia.

Mestinya cukup sampai di fakta medis itu. Namun hingar bingar media sosial (medsos) dipenuhi oleh postingan Covid-19, sehingga memantik nitizen berkomentar. Apa pun aktivitiasnya selalu dikaitkan dengan Covid-19.

Perilaku ber-medsos inilah yang menciptakan ruang publik sosial yang dibentuk dari ‘logika algoritma’ medsos. Di  sini yang dihitung adalah kwantitatif. Semakin banyak postingan yang minim literasi tentang virus Covid-19, mampu mengkonstruksi ruang publik medsos dengan kecemasaan dan ketakutan.

Christhoper Wylie, ilmuwan asal Canada yang mempunyai ide memadukan data untuk menggali lebih dalam aspek psikologi seseorang, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi pilihan politik mereka. Dengan begitu bisa menjejali dengan iklan kampanye politik yang sesuai dengan karakter psikologi.

Wyle, menurut Raylis Sumitra, pun kecewa ketika ide itu disalahgunakan untuk kepentingan politik lewat skandal pencurian data pengguna facebook.

Cambridge Analytica, misalnya, oleh Christopher Wylie, disebut mempunyai keinginan “operasi psikologi”. Metode ini dilakukan dengan mengubah pemikiran seseorang bukan lewat persuasi, tapi lewat dominasi informasi yang meliputi seperangkat teknik tertentu seperti rumor, disinformasi, dan berita palsu (hoax).

Raylis Sumitra menilai
dari penjelasan ini bisa ditemukan titik disinformasi tentang psychological warfare tool atau perang urat syaraf.

Ketakutan Wylie pun terbukti. Dunia politik akhir akhir ini mengalami penurunan kwalitas. Tidak terkecuali dengan politik di Tanah Air diitandai “perang” informasi di medsos pun tidak dapat dikendalikan.

Tidak ada lagi batasan informasi, yang ada emosi personal dalam menerima dan menyebarkan infomasi ke medsos. Dalam case Covid-19,  tidak menutup kemungkinan ada ‘operasi psikologi’ seperti kekhawatiran Wylie.

Sekadar men-diskripsikan, analisa fenomena ketakutan Covid-19 telah mengubah tata kelola sistem sosial subtansi dasar manusia dalam bersosial.

Perubahan perilaku sosial pun terjadi. Misalnya merebaknya aksi penolakan massa terhadap penguburan mayat akibat virus Covid-19 dengan alasan takut tertular, jelas bukti ada ketakutan masyarakat.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pun menyampaikan imbauan agar masyarakat tidak menolak. Mayat itu tergolong sahid akhirat mesti mendapat penghormatan, perlu dimandikan, dishalatkan dan dikubur seperti janazah muslim lain. (Detakpos,Rabu,1/4/2020).

Ketakutan yang terbentuk dalam ruang publik sosial ini tentu tidak sendiri, dan menjadi wabah seperti kata kelompok wabah kepada Wali Alloh, lebih banyak mati akibat ketakutan dibandung wabah itu sendiri.(*).

Penulis: Redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *