Ketika Gagal Pahami “Janji Kampanye” soal KPM

Oleh : A Adib Hambali (*

SEJUMLAH aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (19/6/2019), menggelar aksi menyampaikan aspirasi petani yang menagih “janji kampanye” Pilkada tahun lalu.

Janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan para petani melalui pemberian Kartu Petani Mamdiri (KPM).

Maklum, petani menjadi tulang punggung pembangunan. Namun sektor pertanian ini masih cenderung terabaikan. Perlindungan terhadap petani masih perlu ditingkatkan, sehingga berbagai permasalahan di sektor ini silih berganti datang.

Contohnya, dalam program pencapaian ketahanan/kedaulatan pangan, Pemerintah selalu berusaha melakukan berbagai terobosan peningkatan produksi untuk mengamankan ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas pangan.

Namun, peningkatan produksi itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Setidaknya masalah yang dihadapi petani terus muncul, yaitu sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, sehingga tidak dapat memproduksi hasil pertanian secara maksimal.

Ketersediaan dan keterjangkauan saprodi (pupuk, bibit, pestisida). Banyaknya kebocoran sistem distribusi menyulitkan petani untuk mendapatkan pupuk dengan mudah dan harga terjangkau.

Akses petani terhadap perbankan sebagai alternatif pembiayaan utama sangat rendah, sehingga banyak petani terjerat sistem ijon oleh tengkulak.

Namun petani mendapat ”angin surga” pada saat kampanye di Pilkada tahun lalu. Maklum jumlah mereka paling banyak di antara profesi lain termasuk di Bojonegoro.

Wajar jika petani selalu menjadi pembahasan khusus dan serius ketika calon bupati dan calon wakil bupati berkampanye.

Secara sederhana pendapatan petani akan naik apabila pendapatan dari bertani tidak habis untuk biaya tanam (produksi).

Petani akan sengsara kalau hasil kerja tani tidak ada sisa, apalagi kalau kebutuhan makan minum, listrik, kesehatan dan pendidikan dan lainnya naik. Karena itu pemerintah (pemkab) harus memastikan ketersediaan sarana produksi (saprodi): air, benih, pupuk, alat alat pertanian dan panduan cuaca agar tidak salah musim tanam.

Dengan lahan yang sama petani berharap bisa tanam lebih satu kali (dengan istilah yang populer Indek pertanaman Petani naik). Petani padi misalnya, juga berharap hasil produksi naik.

Dalam percobaan satu hektare sawah sudah ada yang menghasilkan 10 ton gabah, semantara saat ini rata rata Bojonegoro 6,5 ton perhektare. Kenaikan produksi sangat dipengaruhi jenis benih, air, pengolahan tanah, teknik budidaya, perawatan dan pemupukan dan daya tahan terhadap hama.

Pemkab perlu hadir membantu petani. Untuk semua hal ini, selain menyiapkan sarana diperlukan juga kehadiran bimbingan lewat Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Integrated farming yaitu integrasi antara peternakan dan pertanian dapat menjadi solusi menurunkan biaya pertanian.

Berikutnya, harga hasil panen. Bila saat panen harga komuditas turun petani akan sangat terpukul dengan kerugian. Saat panen tiba tiba harga jatuh menyebabkan nilai tukar petani (NTP) anjlok. Pemerintah harus menjaga harga.

Jika masalah utama petani adalah menaikkan Indek Pertanaman (IP), indek produksi atau jumlah hasil produksi, harga pascapanen yang memadai, perlindungan asuransi yang mengcover biaya tanam (asuransi tani).

Pertanyaannya, apakah semua masalah tersebut di atas akan diselesaikan dengan KPM mandiri yang menjanjikan bantuan hingga Rp10 juta.

Bantuan cash atau subsidi yang selama ini ada dimasukkan kartu sebagaimana program pusat sekarang ini.

Apakah benar petani akan terima uang cash sampai Rp 10 juta.
Bukannya semua subsidi yang selama ini diterima, termasuk subsidi asuransi pertanian yang dihitung sebagai bantuan. Artinya petani tidak akan terima uang cash tapi semua bantuan itu akan dihitungkan dan dicantumkan dalam kartu tani yang diberi nama Kartu Petani Mandiri (KPM).

Kartu seperti ini bukan barang baru karena untuk Bojonegoro sudah sejak tahun lalu dikerjakan oleh BNI atas perintah Presiden Jokowi, kelak direncanakan jika sukses maka semua subsidi tidak lagi diserahkan lewat pabrik, tapi dimasukkan dalam bantuan lewat kartu yang nilai subsidinya akan berkurang setiap dibelanjakan.

Jika yang dimaksudkan KPM itu adalah kartu tani Pak Jokowi, sepertinya rakyat petani perlu memahami, meski digunakan untuk kampanye dengan janji akan memberi bantuan Rp 10 juta perpetani.

Ini namanya jebakan permainan kata kata. Sayangnya kita gagal paham sehinga termasuk pihak yang terjebak mengangap itu bentuk janji kampanye, dan sekarang rame rame menagih janji tersebut.
Buktonya Peraturan Bupati Nomor 48 2018 yang dipersoalkan jelas jelas mengacu Peraturan Menteri Pertanian.

Mudah mudahan setelah ini terjadi bersilat lidah lagi dengan mengatakan kepada petani, “Bukan uang yang dijanjikan, tapi kartu!” Wassalam..!

*) Penulis Redaktur Senior Detakpos, salah satu pendiri PMII Cabang Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *